Terbaru! Penjelasan Rencana Pertamina Hapus Pertalite dan Premium dari SPBU

PT Pertamina (Persero) berencana menghapus BBM pertalite dan premium dari SPBU. Rencana penghapusan pertalite dan premium dari SPBU masih digodok.

TRIBUNPONTIANAK.CO.ID - PT Pertamina (Persero) berencana menghapus BBM pertalite dan premium dari SPBU.

Rencana penghapusan BBM pertalite dan premium dari SPBU tersebut masih terus digodok.

Namun saat ini Pertamina menegaskan bahwa pihaknya masih menjual bahan bakar minyak ( BBM) jenis Premium dan Pertalite di SPBU.

Direktur Utama Pertamina, Nicke Widyawati, menjelaskan rencana penghapusan Pertalite dan Premium sesuai dengan peraturan pemerintah yang mensyaratkan standar BBM minimal RON 91.

Di sisi lain, dua jenis BBM yang dijual Pertamina yakni Premium termasuk RON 88 lalu Pertalite masuk kategori RON 90.

Kata Nicke, selain Indonesia, sejauh ini tinggal 6 negara di dunia yang masih menggunakan produk bensin RON 90 ke bawah antara lain Bangladesh, Colombia, Mesir, Mongolia, Ukraina, dan Uzbekistan.

"Jadi itu alasan yang paling penting kenapa kita perlu me-review kembali varian BBM ini, karena benchmark 10 negara seperti ini," jelas Nicke dikutip dari Kontan, Selasa (1/9/2020).

"Sebetulnya Premium dan Pertalite porsi konsumsinya yang paling besar. Kita perlu mendorong bagaimana konsumen yang mampu beralih ke BBM ramah lingkungan," kata dia lagi.

Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) No 20 Tahun 2017 mengharuskan Indonesia sudah harus mengadopsi kendaraan BBM berstandar Euro 4 sejak 10 Maret 2017.

BBM yang memenuhi standar Euro 4 adalah bensin dengan Research Octane Number (RON) di atas 91 dan kadar sulfur maksimal 50 ppm.

"Jadi, ada regulasi KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) yang menetapkan bahwa untuk menjaga emisi karbon itu, menjaga polusi udara ada batasan di RON berapa gitu, di kadar emisi berapa," kata Nicke beberapa waktu lalu dikutip dari Kompas TV.

Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB) mengusulkan Premium dihapus karena tidak sesuai teknologi otomotif saat ini.

"Masa kita menggunakan BBM yang kualitasnya zaman 50 tahun yang lalu? Mending dihapus sekalian karena kalau digunakan, kendaraan kita akan cepat rusak," kata Direktur Eksekutif KPBB, Ahmad Safrudin.

Sebelumnya, Vice President Corporate Communication Pertamina Fajriyah Usman menjelaskan, aturan pemerintah mensyaratkan standar baku mutu emisi gas buang kendaraan bermotor sesuai dengan standar Euro 4, sehingga BBM yang digunakan untuk uji emisi agar minimal mengikuti RON minimal 91 atau CN minimal 51.

Oleh sebab itu, Pertamina juga terus melakukan edukasi dan mendorong konsumen agar beralih menggunakan BBM yang lebih ramah lingkungan. Selain itu, belum ada rencana penyesuaian harga BBM Pertamina.

“Sesuai kesepakatan dunia dan pemerintah, setiap negara berupaya menurunkan emisi karbon dan mengurangi polusi udara, salah satunya dengan menggunakan BBM yang lebih berkualitas dan ramah lingkungan," jelas Fajriah dikutip dari Antara.

"Seperti yang sudah kita rasakan sejak PSBB, langit biru dan udara lebih baik, untuk itu kami akan mendorong masyarakat untuk menggunakan produk yang lebih berkualitas,” kata dia lagi.

Sebagai Badan Usaha di sektor hilir, PT Pertamina (Persero) masih menyalurkan Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Premium sebagaimana penugasan yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 43 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 Tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak.

Sebagai tindak lanjut dari Perpres tersebut, Menteri ESDM pada tanggal 28 Mei 2018 juga telah menetapkan Kepmen ESDM Nomor 1851 K/15/MEM/2018 tentang Penyediaan dan Pendistribusian Jenis Bahan Bakar Minyak Khusus Penugasan di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Provinsi Banten, Provinsi Jawa Barat, Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Provinsi Bali.

Selanjutnya, pada awal 2020, Badan Pengatur Hilir (BPH) Migas juga telah mengeluarkan Surat Keputusan yang memberikan penugasan kepada badan usaha yang ditunjuk, termasuk Pertamina untuk menyalurkan Premium atau Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP) Jenis Bensin (Gasoline) dengan kuota sebesar 11.000.000 KL.

Jungkook BTS Ulang Tahun 1 September 2020, Terkuak Sederet Fakta Menarik Jungkook BTS

Katalog Promo Alfamart 1 September 2020, Dapatkan Diskon Harga Mentega, Saus Sambal, Hingga Susu

Kerugian Rp 11 Triliun

PT Pertamina (Persero) tercatat mengalami kerugian sekitar Rp 11 triliun pada semester I/2020. BUMN energi ini tengah mengupayakan berbagai antisipasi agar kerugian tak semakin besar.

Direktur Keuangan Pertamina, Emma Sri Martini mengatakan, kerugian Pertamina tersebut terkait dengan pandemi virus corona ( Covid-19) dan pemberlakukan PSBB.

Selain itu, Pertamina rugi juga dikontribusi faktor kurs rupiah terhadap dollar AS. Nilai tukar rupiah terhadap dollar AS berada di titik terendah pada Maret yang sempat menyentuh angka Rp 16.608 per dollar AS.

Di satu sisi, belanja perusahaan, seperti untuk impor minyak mentah dan bahan bakar minyak (BBM), menggunakan mata uang dollar AS.

Sementara pendapatan Pertamina sebagian besar dalam mata uang rupiah. Untuk itu, salah satu langkah strategis perusahaan menghadapi tantangan pada tahun 2020 adalah dengan renegosiasi kontrak yang menggunakan mata uang asing untuk dibayar menggunakan rupiah," kata Emma dikutip dari Harian Kompas, Selasa (1/9/2020).

Dikatakan Emma, perseroan memilih untuk mengurangi belanja modal dan belanja operasional dengan penghematan hingga 4,7 miliar dollar AS atau sekitar Rp 68,1 triliun.

Sebelum pandemi Covid-19 melanda Indonesia, Pertamina menganggarkan 7,8 miliar dollar AS atau setara Rp 113 triliun tahun ini. Pertamina juga memitigasi risiko selisih kurs dengan meningkatkan kinerja arus kas perusahaan.

Dilansir dari Antara, Emma menjelaskan volume penjualan BBM/BBK pada April 2020 turun hingga 26 persen jika dibandingkan dengan Juli 2019. Turunnya permintaan masyarakat dalam menggunakan BBM menyebabkan Pertamina kehilangan pendapatan (revenue).

"Pandemi Covid-19 sangat signifikan sekali terhadap penurunan permintaan ini, menyebabkan pendapatan kita sangat terdampak. Kita lihat di kuartal II bulan April ini adalah posisi terdalam," kata Emma.

Emma menjelaskan bahwa penjualan BBM mulai menunjukkan tren positifnya pada bulan Juni yang meningkat sebesar 7 persen, dan Juli sebesar 5 persen, meski belum kembali pada "normal rate".

Turunnya permintaan pada BBM juga memberikan dampak pada inventarisasi atau bahan bakar yang tersimpan di kilang. Sebagai contoh, stok avtur pada April-Mei saja mencapai hingga 400 hari, namun di sisi lain biaya inventarisasi tetap berjalan.

"Avtur kita stoknya bisa sampai 400 hari, solar juga, semua terdampak dan itu memakan menjadi inventory cost, sementara revenue tidak ada," kata Emma.

Sebelumnya, Vice President Corporate Communication Pertamina, Fajriyah Usman, mengatakan masa pandemi Covid-19 terutama saat pemberlakukan PSBB jadi penyebab utamanya turunnya kinerja perseroan (rugi).

"Salah satu shock yang dialami pada masa pandemi Covid-19 adalah penurunan permintaan (demand) BBM, namun seiring pemberlakuan adaptasi kebiasaan baru dan pergerakan perekonomian nasional," terang Fajriyah dalam keterangannya.

"Tren penjualan Pertamina pun mulai merangkak naik. Kinerja kumulatif Juli juga sudah mengalami kemajuan dan lebih baik dari kinerja kumulatif bulan sebelumnya,” kata dia lagi.

Menurut Fajriyah, periode Februari hingga Mei 2020 merupakan masa-masa terberat Pertamina dengan volume demand yang terus mengalami penurunan tajam akibat pandemi Covid-19.

Bahkan saat diberlakukan PSBB di sejumlah daerah, penurunan permintaan BBM di kota-kota besar mencapai lebih dari 50 persen.

Pertamina juga harus menghadapi tekanan tambahan berupa penurunan pendapatan di sektor hulu, total pendapatan Pertamina, yang tercantum dalam Laporan Keuangan unaudited Juni 2020 turun hingga 20 persen.

Fajriyah juga menyampaikan dengan penurunan pendapatan yang signifikan, maka laba juga turut tertekan. Pada pada Januari 2020, Pertamina masih membukukan laba bersih positif 87 juta dollar AS.

Namun memasuki 3 bulan selanjutnya, mulai mengalami kerugian bersih rata-rata 500 juta dollar AS per bulan.

Perusahaan juga sempat tertekan dengan harga minyak ICP pada April sebesar 21 dollar AS per barel. Sementara perusahaan juga harus mempertahankan bisnis hulu migas. (*)

Artikel ini telah terbit di kompas.com dengan judul Update Rencana Pertamina Hapus Pertalite dan Premium dari SPBU. https://money.kompas.com/read/2020/09/01/080200726/update-rencana-pertamina-hapus-pertalite-dan-premium-dari-spbu?page=all#page2.

Dan Direktur Keuangan Pertamina Buka-bukaan Penyebab Rugi Rp 11 Triliun. https://money.kompas.com/read/2020/09/01/070912026/direktur-keuangan-pertamina-buka-bukaan-penyebab-rugi-rp-11-triliun?page=all#page3.

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved