Resmi Iuran BPJS Kesehatan Naik Per 1 Juli 2020, Kabar Baiknya Penunggak Iuran Dapat Keringanan

Hal ini sesuai dengan Peraturan Presiden ( PP ) Nomor 64 Tahun 2020...........

Editor: Madrosid
TRIBUN PONTIANAK/DESTRIADI YUNAS JUMASANI
Iuran bpjs akan mengalami kenaikan per 1 Juli 2020 mendatang 

TRIBUNPONTIANAK.CO.ID - Iuran BPJS akan mengalami kenaikan per 1 Juli 2020 mendatang.

Sementara untuk penunggak iuran, BPJS Kesehatan memberikan keringanan.

Hal ini sesuai dengan Peraturan Presiden ( PP ) Nomor 64 Tahun 2020.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan alasan di balik kenaikan iuran tersebut.

Menurut dia, kenaikan iuran dilakukan untuk menjaga keberlanjutan dari program Jaminan Kesehatan Nasional (Jamkesnas) BPJS Kesehatan.

"Terkait BPJS Sesuai dengan apa yang sudah diterbitkan, tentunya ini untuk menjaga keberlanjutan BPJS Kesehatan," ujar Airlangga Hartarto dalam konferensi video di Jakarta, Rabu (13/5/2020) lalu.

Lebih lanjut dia mengatakan, meski ada kenaikan namun untuk peserta mandiri BPJS kelas III, besaran kenaikan iurannya tahun ini masih disubsidi oleh pemerintah.

Iuran peserta mandiri Kelas III juga naik dari Rp 25.500 menjadi Rp 42.000.

Namun, pemerintah memberi subsidi Rp 16.500 sehingga yang dibayarkan tetap Rp 25.500.

"Ada iuran yang disubsidi pemerintah, yang lain diharap bisa menjalankan keberlanjutan operasi BPJS Kesehatan," jelas Airlangga Hartarto.

Ketua Umum Golkar itu pun menjelaskan, kepesertaan BPJS Kesehatan pada dasarnya terbagi atas dua golongan, yaitu golongan masyarakat yang iurannya disubsidi pemerintah dan kelompok masyarakat yang membayar penuh iurannya.

Adapun berikut rincian tarif iuran BPJS Kesehatan berdasarkan Perpres Nomor 64 2020.

- Iuran peserta mandiri Kelas I naik menjadi Rp 150.000, dari saat ini Rp 80.000.

- Iuran peserta mandiri Kelas II meningkat menjadi Rp 100.000, dari saat ini sebesar Rp 51.000.

- Iuran peserta mandiri Kelas III juga naik dari Rp 25.500 menjadi Rp 42.000.

Namun, pemerintah memberi subsidi Rp 16.500 sehingga yang dibayarkan tetap Rp 25.500.

Kendati demikian, pada 2021 mendatang subsidi yang dibayarkan pemerintah berkurang menjadi Rp 7000, sehingga yang harus dibayarkan peserta adalah Rp 35.000.

Keringanan bagi penunggak

Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris mengatakan, dalam kondisi pandemi covid-19, pemerintah memberikan keringanan kepada peserta BPJS Kesehatan yang menunggak pembayaran iuran.

"Bicara covid-19, Perpres Nomor 64 Tahun 2020 ini sangat memerhatikan suasana itu.

Jadi diadakan kelonggaran pembayaran iuran menunggak di periode covid-19 ini," kata Fahmi dalam diskusi secara virtual bertajuk 'Jaminan Kesehatan di Masa New Normal dan Kinerja BPJS', Jumat (5/6/2020).

Fahmi mengatakan, BPJS Kesehatan memberikan keringanan berupa pengurangan masa denda kepada seluruh peserta, termasuk yang sudah memiliki tunggakan iuran.

"Kalau anda menunggak sampai 24 bulan, ya bayar sampai 6 saja. Nanti baru dijumlahkan.

Tidak dipaksa peserta aktif untuk bayar semua," ujarnya.

Lebih lanjut, Fahmi mengatakan, penugasan yang diberikan pemerintah kepada BPJS Kesehatan selama pandemi adalah memverifikasi klaim dari rumah sakit yang memberikan layanan terhadap pasien covid-19.

"Sesuai ketentuannya, berkas-berkas rumah sakit yang dinyatakan lengkap, itu pemerintah langsung bayar 50 persen dulu ke RS, ini dilakukan agar cast flow RS tidak terganggu," pungkasnya.

Ikuti Perintah Mahkamah Agung

Dikutip dari TribunKaltim.co, Deputi Direksi Wilayah BPJS Kesehatan Kedeputian Wilayah Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Utara (Kaltimtengseltara) C. Falah Rakmatiana mengatakan, bahwa diterbitkannya kebijakan tersebut menunjukkan bahwa pemerintah telah menjalankan putusan Mahkamah Agung.

Jika melihat Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materil, ada 3 (tiga) opsi yang dapat diambil terhadap putusan Mahkamah Agung Nomor 7P/HUM/2020 terkait Pembatalan Pasal 32 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019.

Tiga itu adalah opsi pertama adalah mencabut peraturan yang digugat, opsi kedua yaitu mengubah atau membuat peraturan baru karena adanya kekosongan hukum, atau yang ketiga melaksanakan dan dianggap peraturan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

"Sehingga, dapat disimpulkan bahwa hadirnya Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 tidak menyalahi putusan Mahkamah Agung,” jelas Falah melalui kegiatan Press Briefing BPJS Kesehatan Kedeputian Wilayah Kaltimtengseltara.

Sumber: Tribun Kaltim
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved