Dosen Hubungan Internasional UIN Syarif Hidayatullah Nilai Cina Kangkangi Hukum Internasional

Teguh Santosa, mengatakan dalam beberapa hari belakangan ini, dunia menyaksikan konsentrasi armada Cina di perairan Laut Cina Selatan.

Penulis: Stefanus Akim | Editor: Stefanus Akim
IST
Teguh Santosa, dosen Hubungan Internasional Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah. 

JAKARTA - Di tengah wabah mondial virus corona baru atau Covid-19, Republik Rakyat Cina (RRC) konsisten mengangkangi hukum internasional dan memancing ketegangan di wilayah perairan yang mereka klaim sebagai milik mereka.

Hal itu dikatakan Teguh Santosa, dosen Hubungan Internasional Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah dalam rilis yang dikirim ke redaksi, Jumat (01/05/2020).

Teguh Santosa, mengatakan dalam beberapa hari belakangan ini, dunia menyaksikan konsentrasi armada Cina di perairan Laut Cina Selatan. Secara sepihak Cina juga memberikan nama untuk 25 pulau, beting, terumbu, serta 55 gunung dan punggung laut di perairan itu.

Menurut dosen hubungan internasional Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Teguh Santosa, manuver Cina di Laut China Selatan konsisten dengan sikap Cina yang mengabaikan hukum internasional di kawasan.

“China selalu menggunakan klaim kuno bahwa perairan itu adalah milik mereka, seolah-olah mereka sedang hidup di era ratusan tahun yang lalu,” kata Teguh Santosa.

Teguh Santosa mengatakan, “Seperti saat pendiri Dinasti Yuan Kublai Khan berkuasa di daratan Cina dan memaksakan negeri-negeri lain untuk tunduk kepada mereka. Cina mengabaikan kenyataan bahwa setelah Perang Dunia Kedua banyak negara baru yang memiliki hak kedaulatan atas wilayah perairan yang diakui berbagai perjanjian internasional, seperti UNCLOS 1982.”

Teguh Santosa dalam keterangan yang diterima redaksi mengatakan, “China memperlihatkan dengan terang benderang bahwa mereka enggan menghormati hukum internasional.”

Dosen politik Asia Timur ini mengatakan Cina kembali mengajukan klaim atas perairan tersebut pada tahun 2009. Pada tahun 2013, ketika Filipina yang merasa dirugikan oleh klaim mengajukan gugatan ke Permanent Court of Arbitration (PCA) di Belanda, Cina mengabaikan gugatan.

Ia mengatakan, di tahun 2016, PCA memutuskan bahwa Cina tidak memiliki hak atas perairan Filipina. Lagi-lagi Cina tidak menganggap keputusan itu ada.

“Desember tahun lalu pun hubungan Indonesia dan China sempat memanas karena China memasuki Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia tanpa izin. China juga marah Indonesia menggunakan nama Laut Natuna Utara untuk wilayah perairan Natuna yang menjadi hak kedaulatan Indonesia,” ujar Teguh mengingatkan.

Teguh mengatakan, pemerintahan Partai Komunis Cina jeli melihat sengketa perbatasan wilayah perairan yang sedang terjadi di antara negara-negara anggota ASEAN.

“Mereka paham bahwa di antara negara-negara ASEAN ada sengketa untuk menentukan garis batas di perairan yang sudah berlangsung cukup lama. ASEAN pun kesulitan menjadikan agresifitas Cina di perairan ini sebagai persoalan yang harus dihadapi bersama,” ujar Teguh lagi.

Manuver Cina, masih kata Teguh, berpotensi memancing ketegangan dalam skala besar di kawasan. Tidak hanya menyinggung negara-negara yang wilayahnya dicaplok, baik Filipina, Vietnam, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Taiwan, tetapi juga memancing keterlibatan super power lain, Amerika Serikat dan sekutu di kawasan, seperti Jepang.

Pandangan senada juga disampaikan peneliti Chatham House, Bill Hayton. Dalam keterangannya beberapa hari lalu, Bill Hayton mengatakan, sikap Cina inkonsistensi dengan kenyataan bahwa mereka juga merativikasi UNCLOS 1982.

“Cina telah meratifikasi Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) yang sangat jelas mengatur tentang apa yang bisa dan tidak bisa diklaim negara sebagai wilayah. Namun China tampaknya menentang UNCLOS dengan menegaskan kedaulatan di tempat-tempat yang sangat jauh," ujar Bill Hayton.

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved