Setelah Putusan Bebas Peladang, Selanjutnya Bagaimana?

Praktik berladang dengan berkearifan lokal menjadi kunci atas usaha bertani masyarakat di komunitas secara turun-temurun...

Penulis: Stefanus Akim | Editor: Stefanus Akim
IST/DOK Persatuan Peladang Tradisional Kalbar
BERSIHKAN LADANG - Sejumlah perempuan peladang membersihkan ladang dari rumput. 

OPINI

Penulis: Hendrikus Adam | Pengurus Persatuan Peladang Kalimantan Barat

PUTUSAN bebas terhadap enam Peladang di Kabupaten Sintang pada sidang dengan agenda pembacaan putusan Senin, (9/3/2020) lalu oleh Majelis Hakim PN Sintang disambut sukacita massa yang sejak pagi menunggu di luar. Lagu Indonesia Raya berkumandang dinyanyikan kembali sesaat setelah putusan dibacakan sebagai wujud apresiasi atas hadirnya ‘negara’ melalui putusan keberpihakan pada Peladang. Semua bersorak gembira kala itu dan sejumlah warga yang tidak dapat hadir langsung turut meluapkan kegirangannya.

Peladang bebas murni menjadi asa sejak awal yang seolah mengamini kalimat di baju kaos para terdakwa dimasa-masa sidang; “KAMI YAKIN, KAMI BEBAS”. Vonis bebas murni menyusul atas Peladang asal Kabupaten Bengkayang pada hari berikutnya. Lantas, bagaimana kita mestinya memaknai situasi setelah putusan bebas para Peladang?

Beberapa hari sebelum pembacaan putusan, Persatuan Peladang Tradisional Kalimantan Barat telah memprediksi dan optimis Majelis Hakim akan bijaksana menggunakan hati nuraninya serta menghormati kearifan lokal. Keterangan dan fakta persidangan menjadi dasarnya rasa optimis dan hasilnya sama persis dengan prediksi. Mencermati riuh seputar situasi Peladang yang diproses hukum dan mengalami ketidakadilan, hemat penulis mengisyaratkan sekurangnya tiga hal.

Hendrikus Adam
Hendrikus Adam (IST/DOK Persatuan Peladang Tradisional Kalbar)

Pertama, situasi riuh sekitar isu Peladang menegaskan bahwa nasib dan keberlanjutan kehidupan Kaum Tani, khususnya Peladang penting juga relevan menjadi perhatian dan keberpihakan sangat serius semua pihak terutama oleh negara. Selama ini harus diakui, negara melalui aparatur pemerintah hingga di daerah abai atas nasib Peladang. Ingat tahun 2016 lalu, Pemerintah Daerah Kalimantan Barat sebagaimana disampaikan Gubernur Cornelis saat membuka Pekan Gawai Dayak XXXI kala itu, malah mengajak masyarakat tidak lagi berladang dengan demikian dinilai membantu pemerintah menjaga kelestarian lingkungan dan mengantisipasi pemanasan global. Bahkan pandangan miring kerap dialamatkan pada Peladang oleh sejumlah oknum pejabat yang menganggap praktik berladang sebagai penyebab kebakaran hutan dan petaka asap sejak 1997 hingga saat ini (2019).

PELADANG - Seorang anak peladang sedang panen padi di ladang orang tua nya. Dalam bahasa Dayak Ahe, kegiatan ini disebut dengan
PELADANG - Seorang anak peladang sedang panen padi di ladang orang tua nya. Dalam bahasa Dayak Ahe, kegiatan ini disebut dengan "Bahanyi". (IST/DOK Persatuan Peladang Tradisional Kalbar)

Kedua, pada situasi riuh ini menjadi penting pula sebagai ruang refleksi serius bersama oleh para Peladang maupun sejumlah elemen yang selama ini menyatakan keberpihakannya pada Peladang untuk memastikan agar praktik berladang sungguh dipastikan terkendali, terkontrol dan berkearifanlokal. Salah satu ciri utama praktik berladang yang dilakukan masyarakat di komunitas umumnya tidak dilakukan pada lahan gambut. Selain meyakini tingkat resiko pembukaan lahan gambut bila diladangi, masyarakat di komunitas juga memiliki pengetahuan mengenai tingkat keberhasilan yang sangat kecil bila menanam padi di ekosistem lembab/basah ini.

Ketiga, saatnya pada momentum ini segenap pihak menaikkan posisi tawar dengan mengangkat harkat dan martabat kaum tani terutama Peladang. Profesi yang selama ini terkesan dipandang sebelah mata, justeru memiliki andil penting dalam menopang keberlanjutan kehidupan. Dengan berladang, masyarakat di komunitas dapat memenuhi kebutuhan pangannya sendiri dari tanah milik sendiri yang diolah menggunakan pengetahuan mereka sendiri secara turun termurun. Bahkan beras beserta hasil ladang lainnya justeru lebih memiliki kualitas tinggi. Apa jadinya negeri ini bila tanpa kaum tani/Peladang? Risiko kelaparan dan busung lapar justeru siap melanda segenap warga di berbagai penjuru nusantara dan bahkan dunia.

PADI - Seorang perempuan peladang sedang mengolah padi. Padi yang masih belum masak atau belum menguning ini biasanya diambil sebagian untuk membuat emping.
PADI - Seorang perempuan peladang sedang mengolah padi. Padi yang masih belum masak atau belum menguning ini biasanya diambil sebagian untuk membuat emping. (IST/DOK Persatuan Peladang Tradisional Kalbar)

Berladang yang Berkearifan
Praktik berladang dengan berkearifan lokal menjadi kunci atas usaha bertani masyarakat di komunitas secara turun-temurun yang mengutamakan sikap kehati-hatian secara terkendali dan terkontrol mengikuti kaidah yang diwariskan leluhur Peladang. Dengan berkearifan lokal, maka tidak ada alasan usaha legal tersebut dianggap menyalahi aturan sekalipun dalam praktiknya aparatur penegak hukum masih ada yang gagal paham di lapangan. Segel ‘salah alamat’ yang dibuat Polsek Sepauk terhadap ladang warga di Desa Gernis Jaya di Sintang yang menganggap sebagai bekas kebakaran salah satu contohnya.

Tentu perlu diingat bahwa putusan bebas terhadap para Peladang, bukan berarti berladang bebas dilakukan semaunya oleh siapapun tanpa terkecuali. Justeru putusan vonis bebas Peladang penting dimaknai agar praktik berladang oleh Peladang semakin dilakukan dengan terkendali, terkontrol dan berkearifan lokal. Pada situasi ini juga mengisyaratkan agar negara menaruh perhatian serius menghormati kearifan lokal, menghadirkan rasa aman dengan semakin berpihak pada Peladang dan hadir memberikan solusi yang diharapkan. Hak asasi manusia Peladang sebagai bagian dari rakyat yang mengusahakan pemenuhan pangannya sendiri jelas dijamin konstirusi dan mestinya menjadi tanggungjawab negara.

HASIL LADANG - Timun kampung atau Antimun Dayak adalah satu di antara hasil ladang milik peladang tradisional di Kalbar.
HASIL LADANG - Timun kampung atau Antimun Dayak adalah satu di antara hasil ladang milik peladang tradisional di Kalbar. (IST/DOK Persatuan Peladang Tradisional Kalbar)

Selain itu, hal penting lainnya agar jangan ada tindakan ‘manipulasi’ oleh oknum yang mengatasnamakan Peladang dalam membuka lahan untuk kepentingan tertentu. Terhadap hal ini, Peladang ke depan penting lebih waspada dan bertindak. Bila perlu mengorganisir diri untuk melakukan pengawasan terhadap praktik pembukaan lahan oleh sejumlah oknum melalui cara bakar untuk kepentingan tertentu yang rentan berdampak menyudutkan Peladang.

Sedangkan pada tataran jangka panjang, penting juga mendesak adanya pemahaman bersama bahwa pembelaan Peladang harus didasarkan dan berfokus pada pertimbangan kemanusiaan, ketidakadilan yang dialami, rasa senasib sepenanggungan dan keberpihakan, bukan karena kepentingan jangka pendek oknum atau kelompok tertentu hanya untuk tujuan politik semata. Sekalipun fakta di lapangan tidak dapat dipungkiri mengkonfirmasi adanya sisi politis turut mewarnainya. Namun, seiring berjalan waktu dengan berbekal rekam jejak, konsistensi keberpihakan yang ada akan menjadi saksi sejauh mana pembelaan tersebut masih akan tetap ada hari ini dan esok.

HASIL LADANG - Bagi peladang tradisional di Kalbar, hasil ladang tak hanya padi namun juga sayur-mayur, tanaman obat-obatan, serta yang lainnya. Hasil ladang dalam gambar ini dikenal juga dengan
HASIL LADANG - Bagi peladang tradisional di Kalbar, hasil ladang tak hanya padi namun juga sayur-mayur, tanaman obat-obatan, serta yang lainnya. Hasil ladang dalam gambar ini dikenal juga dengan "Perenggi". (IST/DOK Persatuan Peladang Tradisional Kalbar)

Apresiasi dan Kebangkitan Peladang
Tidak ada yang dapat menyangkal bahwa kaum tani memiliki peran penting dan strategis dalam menopang kelangsungan hidup berbangsa suatu negara, termasuk Indonesia. Karenanya, Peladang sebagai salah satu komponen penopang ekonomi di daerah melalui praktik bertani turun temurun mestinya perlu diakui keberadaannya.

Salah satu langkah yang realistis mulai dapat dilakukan adalah dengan menyampaikan apresiasi, terima kasih dan salam hormat kepada kaum tani/Peladang atas nasi dan hasil pertanian lainnya yang setiap hari kita santap. Wujud tindakan sederhana bisa dimulai dengan turut menyebut Peladang dalam setiap bait doa jelang maupun setelah makan, menghabiskan nasi yang disantap maupun dalam bentuk langkah sederhana lainnya.

DISEGEL - Ladang yang disegel aparat hukum di Kalbar, beberapa waktu lalu.
DISEGEL - Ladang yang disegel aparat hukum di Kalbar, beberapa waktu lalu. (IST/DOK Persatuan Peladang Tradisional Kalbar)

Untuk selanjutnya, tentu perjuangan bagi Peladang belum berakhir dan masih panjang. Dua Peladang asal Sanggau masih dalam proses hukum kini dan juga menanti keberpihakan negara untuk mendapatkan keadilan melalui putusan bebas Majelis Hakim yang menanganinya. Vonis bersalah sebagaimana beberapa putusan atas Peladang lainnya sebetulnya menjadi tidak baik bagi Peladang, namun juga mengkonfirmasi presenden buruk dan kegagalan negara hadir berpihak pada rakyatnya yang mengusahakan pemenuhan pangan melalui kegiatan berladang selama ini. Sementara korporasi yang alami kebakaran di konsesinya dan menjadi penyebab petaka asap justeru tidak tersentuh hukum yang tegas.

Karenanya, memastikan produk hukum dan kebijakan berpihak pada Peladang menjadi pekerjaan rumah bersama yang perlu diraih ke depan. Selain itu, upaya untuk menggali pengetahuan dan mendokumentasikan praktik berladang dengan aneka jenis varietas padi yang biasa ditanam pada berbagai masyarakat di komunitas juga perlu segera dimulai oleh ‘generasi Peladang’ saat ini. Agar public kian melek dan memahami mengenai praktik berladang berkearifan lokal yang dilakukan.

TANAM PADI - Para peladang tradisional di Kalbar menanam padi di ladang mereka. Kegiatan ini dalam bahasa Dayak Ahe disebut dengan
TANAM PADI - Para peladang tradisional di Kalbar menanam padi di ladang mereka. Kegiatan ini dalam bahasa Dayak Ahe disebut dengan "Nugal". (IST/DOK Persatuan Peladang Tradisional Kalbar)

Pun demikian tentu putusan bebas atas para Peladang tidak lantas harus membuat kita lupa, bahwa tantangan serius bagi Peladang sedang di depan mata. Sekalipun Gubernur beberapa waktu terakhir sempat melontarkan pernyataan akan membuat ‘Pergub Peladang’, tetapi bisa saja hal tersebut hanya jualan saja. Karena toh Pergub yang dimaksud juga belum terbit. Pada sisi lain kini, pemerintah bahkan sedang mendorong Raperda Pencegahan Karhutla ‘Pekara’ Kalimantan Barat yang kini sedang digodok, namun secara substansi kiblatnya masih belum berpihak pada Peladang?! Bahkan ‘Raperda Pekara Peladang’ tersebut rentan menjadi dasar hukum di daerah untuk menghentikan praktik berladang dengan cara yang seolah ‘beradab’?!

Karenanya, putusan bebas terhadap enam Peladang sedianya menjadi momentum penting untuk memastikan kemerdekaan bagi para Peladang dalam mengusahakan pangan untuk hidup dan keberlanjutan kehidupan. Tonggak penting guna memastikan Peladang tetap berdaulat atas pangan dan sumber kehidupannya yang diikuti dengan produk hukum yang jelas dan tegas berpihak pada mereka. Bebasnya enam Peladang sejatinya momentum penting guna meneguhkan keberpihakan pada praktik berladang berkearifan lokal oleh masyarakat di komunitas. Saat yang baik pula jika boleh kita diamini, 9 Maret (lalu) sebagai ‘Hari Kebangkitan Peladang’ di Nusantara. (*/Penulis juga aktivis Wahana Lingkungan Hidup atau Walhi Kalbar)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved