Social Distancing, Isolasi, dan Panggilan Bangsa dalam Semangat Cinta Kasih dan Belas Kasih
Robert E Park mendefinisikan social distancing sebagai ukuran untuk melihat derajat hubungan sosial antar pribadi dan antar kelompok...
OPINI
Penulis: RP Dr Johanes Robini Marianto OP | Ketua Yayasan Landak Bersatu
PONTIANAK - Akhir-akhir ini merebak terminologi "Social Distancing"(disingkat SD) – bisa diartikan sebagai pengambilan jarak di dalam relasi atau interaksi sosial, terutama secara fisik – di dalam menghadapi wabah Covid-19. Pembatasan interaksi sosial secara fisik diharapkan akan membantu pemberhentian merebaknya wabah Covid-19.
Robert E Park mendefinisikan SD sebagai ukuran untuk melihat derajat hubungan sosial antar pribadi dan antar kelompok di dalam variabel untuk saling memahami dan kedalaman relasi (intimacy) yang terjadi. Di dalam SD akan timbul yang namanya "kami/saya/kita" (kelompokku dan kelompok kita) dan "dia/mereka" (kelompok dia dan kelompok mereka).
Sebenarnya SD itu adalah hal yang biasa terjadi di masyarakat tanpa kita sadari. Permasalahannya adalah ketika dipertajam bisa menimbulkan segregasi di dalam masyarakat atau "dipaksakan" seperti keadaan seperti sekarang ini ketika menghadapi bahaya wabah Covid-19.
Permasalahan yang terakhir (yaitu ketika menghadapi wabah Covid-19) SD diterapkan secara artifisial (buatan di dalam arti direkayasa secara sadar) bahkan meliputi mereka yang selama ini merasakan satu kelompok sosial bahkan satu ikatan emosional dekat (misalnya: teman, kolega dan bahkan anggota keluarga).
SD direkayasa sedemikian rupa sehingga bahkan terjadi segregasi (jarak) fisik yaitu kontak fisik; termasuk saling menghadirkan yang merupakan hakekat esensial dari komunikasi dan kesatuan (communion).
Di sini kita semua dibuat sadar bahwa SD itu real dan terjadi tanpa kita sadari ketika SD yang direkayasa, dianjurkan dan bahkan di beberapa tempat SD dipaksa menjadi situasi isolasi (minimal pertemuan atau kehadiran fisik). Mungkin lebih jauh lagi, bersamaan dengan merebaknya virus Covid-19 dan justru karenanya, apakah tidak mungkin ada stigma "mereka" (penderita Covid-19 atau bekas penderita Covid-19) di kemudian hari? Dikhawatirkan muncul diskriminasi terhadap mereka yang menderita atau bekas penderita Covid-19.
Di samping itu apakah SD yang direkayasa saat ini sah secara etis (apalagi di beberapa tempat dilakukan dengan paksa) dan mengisolasi mereka yang dicurigai atau sudah terjangkit Covid-19? Apakah SD tidak menghancurkan ikatan sosial atau kesatuan (communion) yang selama ini kita bangun?
Kesejahteraan/Kepentingan Umum
Argumen utama dilaksanakannya SD dan sekaligus pembenarannya adalah semuanya demi kesejahteraan atau kepentingan umum. Pertanyaannya adalah: apakah arti kepentingan umum? Apa makna dan isi kepentingan/kesejahteraan umum tersebut?
Virus Corona
Corona
RP Dr Johanes Robini Marianto OP
Katolik
Umat Katolik
Keuskupan Agung Pontianak
Mgr Agustinus Agus
Gereja St Yoseph Katedral Pontianak
Stefanus Akim
Kisah Arsy Putri Anang Jalani Isolasi Mandiri Tanpa Ashanty, Siapkan Makanan Sendiri |
![]() |
---|
CARA Daftar UMKM BRI Online 2021 Klik www.depkop.go.id Daftar BLT UMKM di eform BRI bpum 2,4 Jt |
![]() |
---|
CARA Cek Lolos Kartu Prakerja Gelombang 12 dan Link Pengumuman Hasil Seleksi Kartu Prakerja 2021 |
![]() |
---|
RESMI Mendikbud Umumkan Jadwal Masuk Sekolah Terbaru Juli - Hasil Vaksinasi Guru jadi Pertimbangan |
![]() |
---|
Tetangga Sebut Nissa Sabyan Tak Sayang Orangtuanya, Keluarga Nissa Sampai Malu Keluar Rumah |
![]() |
---|