Surat Gembala Uskup Agung Mgr Agustinus Agus: Membangun Kehidupan Ekonomi yang Bermartabat
Rabu 26 Februari 2020, telah dirayakan misa hari raya Rabu Abu. Hal ini merupakan pembukaan pekan masa Prapaskah.
Penulis: Stefanus Akim | Editor: Stefanus Akim
Oleh: Samuel | Staf Komisi Komsos Keuskupan Agung Pontianak
PONTIANAK - Rabu 26 Februari 2020, dirayakan misa hari raya Rabu Abu. Hal ini merupakan pembukaan pekan masa Prapaskah. Perayaan ini dirayakan oleh seluruh umat Katolik dunia.
Misa Perayaan Hari Raya Rabu Abu dilaksanakan di Gereja Santo Yoseph Katedral Pontianak. Pada misa ketiga pukul 19.00 WIB, misa diikuti kurang lebih empat ribuan umat, yang diasumsikan bahwa untuk dalam gereja sendiri menampung tiga ribu umat ditambah lagi kiri dan kanan lorong gereja sampai baseman parkiran dipenuhi oleh umat.
Misa ketiga di Gereja Santo Yoseph Katedral Pontianak, dipimpin oleh RD Alexius Mingkar sebagai pastor paroki Katedral.
Mungkin umat katolik bertanya, mengapa Hari Pertama Masa Prapaskah Selalu Jatuh Pada Hari Rabu? Dalam catatan tradisi Kristiani, bahwa hari raya Rabu Abu merupakan hari pertama Masa Prapaskah. Perayaan ini menandai bahwa Umat Katolik sudah memasuki masa tobat yang berlangsung selama 40 hari.
Untuk angka “40" sendiri memiliki makna rohani yaitu sebagai lamanya persiapan. Contohnya Musa yang berpuasa 40 hari lamanya sebelum menerima Sepuluh Perintah Allah dapat dibaca pada (Kel 34:28).
Dalam permulaan hari Rabu Abu memang selalu jatuh pada Hari Rabu. Sebab Gereja Katolik menerapkan puasa ini selama 6 hari dalam seminggu (hari Minggu tidak dihitung, karena hari Minggu dianggap sebagai peringatan Kebangkitan Yesus), maka Masa Puasa berlangsung selama 6 minggu ditambah 4 hari, sehingga genap 40 hari.
Dengan demikian, hari pertama puasa jatuh pada hari Rabu (Paskah terjadi hari Minggu, dikurangi 36 hari (6 minggu), lalu dikurangi lagi 4 hari, dihitung mundur, jatuh pada hari Rabu).
Jadi penentuan awal masa Prapaskah pada hari Rabu disebabkan karena penghitungan 40 hari sebelum hari Minggu Paskah, tanpa menghitung hari Minggu.
Dalam kisah ini, Kitab Suci mengisahkan abu sebagai tanda pertobatan, misalnya pada pertobatan Niniwe (lih. Yun 3:6) dan di atas semua itu, kita diingatkan bahwa kita ini diciptakan dari debu tanah (Lih. Kej 2:7), dan suatu saat nanti kita akan mati dan kembali menjadi debu.
Olah karena itu, pada saat menerima abu di gereja, imam mengucapkan, “Bertobatlah, dan percayalah kepada Injil” atau, “Kamu adalah debu dan akan kembali menjadi debu”.
Apakah Semua Orang Bisa Menerima Abu Hari Rabu Abu? Apakah Cara Penerimaan Abu untuk Kaum Tertahbis Sama Saja Dengan Kaum Awam?

Bagi kaum tertahbis, abu biasanya ditabur di kepala (ubun-ubun), dan bagi yang tak tertahbis, abunya dioleskan di dahi.
Dalam liturgi sekarang, dalam ibadah Rabu Abu, Umat Katolik menggunakan abu yang berasal dari daun-daun palma yang telah diberkati pada perayaan Minggu Palma tahun sebelumnya.
Imam memberkati abu dan mengenakannya pada dahi umat beriman dengan membuat tanda salib dan berkata, “Ingat, engkau berasal dari debu dan akan kembali menjadi debu,” atau “Bertobatlah dan percayalah kepada Injil.”