Jadi Saksi Ahli di Sidang Peladang, Sandrayati: Masyarakat Adat Punya Hak Khusus dan Dilindungi HAM
Sandrayati Moniaga dimintai pendapatnya soal masyarakat adat dalam prespektif Hak Asasi Manusia.
Penulis: Agus Pujianto | Editor: Jamadin
SINTANG - Kuasa hukum enam terdakwa peladang yang diadili atas perkara Karhutla menghadirkan Sandrayati Moniaga, Wakil Ketua Komnas HAM RI dalam persidangan lanjutan di Pengadilan Negeri Sintang, Rabu (5/2/2020).
Sandrayati Moniaga dimintai pendapatnya soal masyarakat adat dalam prespektif Hak Asasi Manusia.
Menurut Sandrayati, enam terdakwa peladang yang diadili diduga anggota masyarakat adat. Dengan asumsi itu kata dia, tedakwa mempunyak hak khusus dalam konsep Hak Asasi Manusia.
“Jadi dalam Undang-udang 39, disebutkan mayarakat adat punya hak khusus dan perlu diperlakukan khusu, pasal 6 ayat 1 99 tentang hak asasi manusia. Dalam konsep HAM, kewajiban utama HAM diemban oleh negara, dalam hal ini dijalankan pemerintah, kewajiban itu penghormatan perlindungan dan pemenuhan masyarakat hukum adat,” ujar Sandrayati Moniaga.
Sandrayati berpendapat, dalam konteksi perkara Karhutla yang dihadapi peladang, pembakaran lahan yang dilakukan para terdakwa tidak bisa dilihat sebagai tindakan yang berdiri sendiri, harus dilihat dari rangkaian sistem perladangan.
• Sidang Lanjutan Peladang di Sintang, Penasehat Hukum Hadirkan Wakil Ketua Komnas HAM RI
“Pembakaran yang merupakan sistem perladangan itu pada umumnya punya nilai kearifan lokal, mengatur beberapa hal. Misal soal varietas lokal, sekat bakar luasan juga. Jadi di situ mereka dilindungi dalam juga dalam undang-udangn 32 tahun 2009 tentang perlidndungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Mereka juga diakui dalam UU HAM, sebagai masyarakt adat diakui hak haknya secara khusus,” beber Sandrayati Moniaga.
Perempuan yang pernah penerima penghargaan Aspirasi dan Inspirasi Wanita Indonesia Versi Majalah Vemina 2007 ini menyebut, masyarakat adat selain memiliki hak khusus, juga ada juga hak ekonomi, hak atas pekerjaan berupa berladang, hak atas pangan dan hak kebudayan.
“Ini yang membedakan mereka, bahwa di masayarakat adat mereka juga punya hak untuk memajukan dan melestarikan,” jelas Sandrayati Moniaga.
Praktik membuka ladang dengan cara bakar yang dilakukan oleh masyarakat adat menurut Sandrayati merupakan pengecualian yang tercantum dalam pasal 2 pasal 69 tentang larangan membakar lahan.
“Sampai saat ini saya melihat, mereka masyarakat adat, punya hak khusus. Dalam hal ini mereka dilindungi oleh negara, dan Undang-udang. Praktik yang mereka lakukan dikecualikan dari larangan. Pasal pengecualian ada di pasal ayat 2,” jelasnya. .
Harus Dikecualikan dari Larangan
Kuasa hukum enam terdakwa peladang atas perkara Karhutla, Glorio Sanen mengatakan saksi ahli dari Komnas HAM RI dihadirkan untuk diminta pendapatnya mengenai maksud yang tertuang dalam pasal 69 ayat 2 tahun 2009 Undang-undang tentang pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup dan korelasi kehormatan dan hak asasi masyarakat adat.
“Tadi saksi menuturkan dalam konteks berladang, maka penerapan hukum yang dilakukan terkait dengan pasal 69 ayat 2 itu, karena ini lex specialis, terkait sistem perladangan,” jelas Sanen.
Mengutip pasal 69 ayat 2 tahun 2009 Undang-undang tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup merupakan pasal larangan bagi masyarakat.

Pasal 69 ayat 2 huruf H tertuang eksplisit, “setiap orang dilarang melakukan pembukaan lahan dengan cara bakar”. Namun, di pasal yang sama ayat 2, “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h memperhatikan dengan sungguh-sungguh kearifan lokal di daerah masing-masing.”