Pilpres 2019
Jelang Sidang Putusan MK Sengketa Pilpres 2019, Pakar Hukum: Nggak Mungkin Tidak Ada Money Politics
Jelang Sidang Putusan MK Sengketa Pilpres 2019, Pakar Hukum: Nggak Mungkin Tidak Ada Money Politics
Penulis: Nasaruddin | Editor: Nasaruddin
Sidang Mahkamah Konstitusi (MK) dengan agenda pengucapan putusan, akan digelar Kamis (27/6/2019).
Sesuai jadwal, sidang MK akan dimulai pukul 12.30 WIB sesuai yang dipublkasikan di laman resmi MK, mkri.id.
Juru bicara MK, Fajar Laksono menjelaskan, pihaknya telah menyampaikan surat panggilan sidang untuk pihak pemohon, termohon dan pihak terkait serta Bawaslu.
"Sudah diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim, sidang pengucapan putusan akan diselenggarakan Kamis 27 Juni 2019," katanya.
Fajar menjelaskan, keputusan untuk memajukan jadwal ini merupakan pertimbangan internal para hakim.
"Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi merasa dan bisa memastikan bahwa putusan itu sudah siap nanti tanggal 27 Juni," katanya.
"Oleh karena itu kalau sudah siap tanggal 27 Juni, kenapa harus menunggu 28 Juni. Kan begitu," lanjutnya.
Awalnya, putusan MK tentang sengketa Pilpres 2019 bakal dibacakan pada Jumat, 28 Juni 2019.
Namun, MK kemudian mempercepat menggelar sidang putusan pada Kamis 27 Juni 2019.
"Jadi semata-mata ini aspek kesiapan saja," lanjutnya.
Jelang pengucapan putusan di MK, pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun mengungkapkan analisisnya terkait kemungkinan hasil sidang Mahkamah Konstitusi terkait Sengketa Pilpres 2019.
Refly mengatakan, untuk hitung-hitungan hasil Pilpres 2019 yang menjadi satu di antara yang dipersoalkan tim Prabowo, Refly berpandangan hal itu akan ditolak.
"Kalau TSM yang mempengaruhi hitungan, itu akan ditolak juga," ungkap Refly saat menjawab pertanyaan presenter Berita Satu.
Pun demikian soal kecurangan yang merusak sendi-sendi pemilu yang jujur dan adil.
"Ini saya katakan tidak 100 persen ditolak. Barangkali 90 persen ditolak," katanya.
"Kalau untuk status Ma'ruf Amin, saya agak sedikit ragu-ragu tetapi "tone" yang saya lihat di MK saya heran kenapa baik pemohon, pihak termohon dan juga hakim MK tidak meramaikan soal ini. Terutama pemohon," lanjutnya.
#YokDiskusiinMK: ini guidance utk menebak putusan MK. Pemohon mendalilkan ada penggunaan dana APBN untuk kemenangan 01. Terbukti atau tidak? TSM atau tidak? Ada pengaruhnya trhdp suara?
— Refly Harun (@ReflyHZ) 24 Juni 2019
Refly menguraikan, ketika saksi Said Didu dihadirkan sebagai saksi, tidak dieksplorasi.
"Pertanyaannya kok ndak banyak, begitu. Atau tidak ada ahli yang mengeksplore soal yang ini. Malah yang dieksplore soal DPT yang terbukti dari Pemilu ke Pemilu, Pilpres ke Pilpres selalu ditolak," katanya.
Refly Harun mengatakan, kita harus menerima apapun yang diputuskan MK dan berusaha tidak memprovokasi pendukung.
Apalagi pendukung di media sosial yang kadang tidak terlalu paham teknis bersidang di MK ini.
"Antara yang kita atau masyarakat yakini dengan apa yang terjadi di persidangan itu bisa sangat jauh sekali distansinya," kata Refly.
Saksikan selengkapnya dalam video berikut:
Menurutnya, kedua belah pihak harus meyakinkan para pendukungnya bahwa kalaupun ada kemenangan dan kekalahan di MK itu tidak semata-mata karena kecurangan itu tidak ada.
"Ada kecurangan, tetapi kecurangan itu dianggap tidak signifikan mempengaruhi hasil Pemilu atau tidak bisa dibuktikan secara sah dan meyakinkan sehingga ditolak," katanya.
Tetapi serpihan-serpihan itu ya pasti ada.
"Nggak mungkin rasanya tidak ada money politics ya. Tidak mungkin rasanya tidak ada keterlibatan birokrasi, netralitas dan lain sebagainya," kata Refly Harun.
"Saya kasi contoh kecil saja misalnya. Saksi itu kan ada yang staff DPR, staff ahli atau staff khusus DPR yang dibayar," ujarnya.
#YokDiskusiinMK: ini guidance utk menebak putusan MK (2). Pemohon mendalilkan ada penggunaan program pemerintah untuk kemenangan 01. Terbukti atau tidak? TSM atau tidak? Ada pengaruhnya trhdp suara?
— Refly Harun (@ReflyHZ) 25 Juni 2019
Menurut Refly Harun, kalau dalam terminologi Undang-Undang Aparatur Sipil Negara, dia termasuk ASN.
Karena ASN ada dua. Ada yang namanya Pegawai Negeri Sipil dan ada juga yang Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja.
"Mereka yang menerima dana APBN sepanjang itu bukan pejabat politik, maka dia dikatakan ASN," tegas Refly.
Berikut penjelasan lengkapnya: