Zonasi dan Sistemnya, Apakah Solusi?
Pendidikan di Indonesia menjadi bagian dalam sector pembangunan Indonesia. 74 Tahun Indonesia merdeka, Negara ini terus berusaha
Citizen Reporter
Sekwil SAPMA PP KALBAR
Akbar Ramadhan
Zonasi dan sistemnya, Apakah Solusi?
PONTIANAK - Pendidikan di Indonesia menjadi bagian dalam sector pembangunan Indonesia. 74 Tahun Indonesia merdeka, Negara ini terus berusaha memberikan yang terbaik dalam proses pembangunannya.
Ya benar, ini masih dalam pembangunan bukan sebuah kekokohan hasil dari sector pendidikan yang sudah harusnya dinikmati.
Pergantian regulasi menjadi hal yang wajar karena sekali lagi ini proses pembangunan yang terus menerus di lakukan demi sebuah solusi yang jitu dan cocok untuk kebutuhan Rakyat Indonesia. Mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Itulah sepenggalan tujuan dari berdirinya negara tercinta ini.
Hari ini semua orang dihebohkan dengan sistematika proses pengawalan pendidikan. Peng-awala-an , sengaja saya penggal agar tak menjadi keributan dalam mengartikan.
Mungkin bahasa ini saya gunakan sesuai bahasa saya sendiri, karena saya pun merupakan orang awam dalam hal itu. Tapi pada dasarnya saya ingin mengungkapkan apa yang menjadi pemikiran saya seorang sarjanawan Pendidikan namun saya vakum menjadi seorang guru formal di sekolah kurang lebih sekitar 5 Tahunan.
Baca: John Deere Launching Traktor Tipe 6095B OOS di Pontianak
Baca: LIVE Catatan Demokrasi Kita TVOne, Vonis MK: Menunggu Keadilan! Ada Fadli Zon & Fahri Hamzah
Baca: VIDEO: HUT Bhayangkara ke 73, Polres Sekadau Gelar Donor Darah
Karena saya cenderung beralih aktivitas di dunia swasta. Kembali pada topiks yang saya angkat, yakni tentang pendidikan dan sistemnya. Lebih spesifik tentang proses penerimaan siswa baru disekolah yang cukup saya perhatikan setiap tahunnya hingga kemarin di tanggal 24 Juni saya menyaksikan langsung bagaimana sistem itu berjalan.
Saya yakini bahwa pemerintah mencoba berbagai regulasi dan perubahannya ditiap pelaksanaan tahunan demi sebuah kenyamanan dan pencapaian maksimal guna pelayanan public dan system yang memudahkan masyarakat untuk mengakses atau mengenyam pendidikan.
Kalau para sarjanawan pendidikan sudah pasti tahu bahwa permasalahan utama yang biasa di evaluasi dalam perkuliahan adalah tentang system pendidikan bidang kontensistas peserta didik dalam menerima ilmu disekolah, atau tentang system guru mengajar.
Karena memang akademisi bidang pendidikan harus memikirkan hal tersebut agar menjadi pokok pemikiran dan solusi menciptakan kecerdasan bangsa itu tadi.
Namun padahal, ada hal yang lebih miris dari itu semua, yakni hak keadilan seluruh rakyat Indonesia dalam mendapatkan hak pendidikan di Negeri sendiri.
Dulu proses penerimaan siswa disekolah serba manual, hakekatnya orangtua/wali calon siswa datang kesekolah, melengkapi syarat yang diberikan hingga harus mengoreh kocek mereka untuk kelengkapan admisntrasi kemudian ada yang melalui tes dan hanya melihat seleksi usia untuk SD dan atau NIM untuk SMP dan SMA.
Begitu seterusnya hingga pemerintah mulai meluncurkan wacana untuk system pendaftaran berbasis online seperti halnya dilakukan ditahun ini.
Apakah ini semua upaya solusi ? Sebelum saya memberikan pemikiran saya untuk menjawab pertanyaan tersebut saya akan memberikan gambaran logika pemikiran saya tentang sebuah kejanggalan tentang ini semua.
Apa itu ? kita bahas satu persatu.
Pertama tentang system online yang katanya untuk mempermudah rakyat mendaftar sekolah.
Saya tulis ini berdasarkan pengalaman saya peribadi mendaftarkan salah seorang keluarga ke jenjang SMA. Logika berpikir saya mengatakan kalau system online itu adalah sebuah solusi yang ditawarkan pemerintah untuk mempermudah rakyat mendaftar sekolah atas evaluasi system dulu yang mengharuskan rakyat berpanas panasan antri disekolah untuk mendaftar, keliling antar skeolah hanya untuk mencari sekolah yang mau menerima berdasarkan NIM dan atau usianya.
Sehingga cukup banyak yang sakit, pingsan, kelelahan sehingga meluap emosi antar pendaftar atau dengan petugas pendaftaran disekolah.
Nah , system online inilah diluncurkan yang saya juga kurang mengikuti sejak tahun berapa diluncurkan, yang pasti aplikasi SIAP PPDB itu kurang lebih sama tiap tahunnya walau ada beberapa perubahan system penggunaannya.
Tapi yang ingin saya bahas bukan soal itu , melainkan yang katanya tujuan system online itu mudah tapi bagi saya masih sulit. Hemat saya dalam benak saya berpikir bahwa system online itu orangtua/wali cukup mendaftarkan nya dirumah masing masing melalui Komputer atau smartphone dengan jaringan internet tanpa harus bersusah payah antri untuk mengambil nomor dan lain sebagainya.
Namun kenyataannya kemarin, saya mencoba untuk membantu mendaftarkan sepupu saya disalah satu sekolah jenjang SMA Negeri , saya harus keskolah antri pagi pagi untuk mengambil nomor.
Setelah pagi pukul 8 saya menunggu kurang lebih 2 jam karena saya tiba pukul 6, dan cukup riuh suasana saat petugas mulai membuka nomor pendaftaran.
Berdesak desakan dengan suara teriak dari petugas melalui soundsystem yang cukup mengganggu dengan nada marah untuk antri.
Bisa dibayangkan kan bagaimana riuhnya. Setelah nomor didapat harus menunggu hingga siang untuk pengecekan berkas yang kita bawa seperti SKL, SKHU, KK asli dan fotocopynya. Belum lagi harus dilegalisir yang fotocopy nya agar benar benar asli.
Saya cukup tertawa dengan mekanisme nya, apakah ini namanya online,? Karena saya penasaran saya ikuti terus agar saya tahu bagian mana yang online katanya.
Setelah pengecekan berkas dianggap lengkap kita diberikan formulir untuk di isi yang pada intinya isinya adalah data siswa, orangtua, alamat, nilai dan pilihan sekolah. Yang peling penting itu jarak alamat ke sekolah karena katanya ini system zonasi (jarak terdekat dengan sekolah).
Setelah diisi manual, formulir kembali diserahkan dan kemudian nanti di input oleh petugas disana kedalam system SIAP PPDB itu. Dan akhirnya saya menyimpulkan, oh bagian inilah yang online. Nanti siswa bisa mengakses melihat dia diterima atau tidak disekolah itu atau dilempar ke sekolah mana berdasarkan pilihan. Jika tidak diterima semua pilihan sekolah, otomatis ya pilihannya harus ke swasta.
Kembali pada pokok pemikiran saya tadi tentang system online. Apakah ini yang dinamakan system online? Saya rasa salah besar. Sekali lagi yang namanya system online itu mempermudah rakyat untuk menggunakannya , kalau masihs aja harus kesekolah antri, isi manual formulir lagi maka peran system yang dibuat online atau didalam internet itu bukan system online , itu namanya hanya menumpang simpan data saja yang bisa diakses dengan jaringan internet.
Karena toh masih saja sama kita harus mengisi manual dulu. Kenapa harus demikian? Kenapa kalau memang peran system itu tadi hanya untuk menyimpan data ,di computer biasa juga bisa. Sekali lagi saya tidak setuju jika ini dikatakan system online.
System online itu rakyat bisa mendaftar dimana saja asalkan ada jaringan internet? Padahal saya melihat saat saya akses system itu padahal bisa kita mendaftar sendiri, kenapa diharuskan mengisi lagi form manual? Ataukah mungkin pemangku kebijakan takut, saat masyarakat menginputkan sendiri datanya akan dipalsukan? Itu semua bulshit.
Padahal logika saya jika memang mau system online siswa cukup daftar dan input NISN, NIK dan pilihan sekolahnya. Kenapa demikian? Kita tahu bahwa NISN (nomor induk siswa nasional) itu didapat siswa sejak SD dan tidak berubah hingga SMA, dan aksesnya pun sudah berbabsis teknologi dan sudah ada data basenya.
Artinya rekam jejak siswa sejak SD, SMP hingga SMA nilai Ujian nya pasti ada disebuah system.
Ataukah mungkin ini hanya manipulasi belaka? Data nilai masih sama saja seperti dulu hanya disebuah buku dikantor arsip? Diera teknologi ini sudah pasti rekam nilai siswa yang terkait di NISN siswa itu sudah harus nya ada di system.
Artinya ketia siswa menginput NISN nya harusnya sudah muncul data nilai akhir saat ia ujian di SMP atau SD.
Kemudian input NIK (nomor induk kependudukan) atau Nomor KK, sudah pasti keluar database lengkap tentang data orangtuanya, data alamatnya paling penting karena system zonasi. Apalagi yang ingin dipalsukan sedangkan kemungkinannya nol untuk masyarakt mengisi manual lagi untuk data alamat.
Apa gunanya KTP elektronik, yang artinya NIK kita itu sudah terekam disebuah system. Bukankah akan jauh lebih mudah, untuk system melihat jarak real dari data di alamat dengan sekolah jika ingin jalur zonasi. Pola piki yang mudah saya rasa, jika memanfaatkan apa yang sudah ada.
Tak perlu lagi harusnya mengisi form manual disekolah kemudian diinput ulang, apagunanya ada data NISN dan NIK di KTP elektronik yang katanya rekam data alamat ada di system? Apakah pemikiran saya saya tentang system online?
Kedua, tentang regulasi dan kebijakan system zonasi. Apakah ini solusi? Saya beri gambaran di Kota Pontianak , kota kelahiran saya. Saya mungkin awam dengan jumlah data usia siswa masuk sekolah. Yang pasti saya memberikan pemikiran tentang apa yang saya lihat.
Jumlah anak yang bersekolah di SD bisa kita gambarkan dengan jumlah gedung SD yang ada, benarkan? Begitu pula SMP dan SMA (kita lihat sekolah negeri saja). Sekarang saya ingin bertanya berdasarkan pembaca lihat, apakah jumlah SD, SMP dan SMA sama rata? Atau sama dengan pikiran saya bahwa SD jauh lebih banyak disbanding SMP dan jauh lebih banyak disbanding SMA.
Jika demikian kemana siswa yang tidak berpeluang untuk masuk ke SMP dan SMA?
Kita selalu mengkampanyekan untuk tidak putus sekolah, tapi sedangkan fasilitas tidak mencukupi, bagaimanakah pola pikir seperti ini? Apakah pemikiran saya salah? Apakah wajar selalu ada yang putus sekolah?
Baiklah kembali kepemikiran saya soal system ZONASI.
Sistem zonasi bertujuan agar pemerataan yang adil bagi mereka agar dapaat mengenyam pendidikan yang sama. Tidak ada lagi pengkotakan sekolah dengan nim tinggi dan nim rendah. Ini niatan yang sangat baik bagi pemerintah dalam solusi pemerataan pendidikan.
Namun pemikiran saya pemerataan pendidikan bukanlah hal itu semata, melainkan pemerataan atas hak mendapatkan kesempatan di didik dalam dunia pendidikan itulah yang paling penting.
System zonasi membentuk regulasi bahwa yang terdekat dengan sekolah itu berhak bersekolah di sekolah itu. Sekarang pertanyaan saya apakah sudah adil jumlah sekolahnya ditiap titik daerah? Contoh kecil saja di Kota saya.
Kita lihat untuk satu titik sekolah , ditarik sebuah garis khayal dengan jarak tertentu apakah akan sama jarak kagir khayal melingkar itu dengan sekolah lainnya. Artinya system zonasi harusnya memiliki jarak kisaran sekolah yang sama.
Jangan sampai ada sekolah A memiliki jarak lingkar garis khayal yang menentukan zona jauh lebih besar dibandingkan dengan sekolah B, karena sekolah B dekat dengan sekolah C. Itu hal pertama, hal keduanya adalah apakah system zonasi ini sudah mempertimbangkan kapasitas di sekolah itu dengan data jumlah anak yang harus bersekolah dilingkungan itu?, hal ketiga, apakah titik lokasi sekolah yang ada sekarang merata titiknya hingga kepinggiran kota? Bukankah sekolah yang ada saat ini berada pada titik tengah kota , sehingga jika akan ditarik jarak mereka yang tinggal pinggiran dengan kesejahteraan hidup yang pas pasan akan menjadi jauh jaraknya dan kemungkinan atas kesempatan dia bersekolah disekolah itu akan jauh lebih kecil disbanding anak anak yang ditengah kota?
Kemarin saya melihat, ada sebuah kawasan di pinggiran kota , jauh jaraknya dengan sebuah sekolah yang padahal itu lah titik sekolah terdekat.
Ia mendaftar dan akhirnya system menolak karena kapasitas kuota sekolah itu sudah penuh dengan anak yang terdekat. Dilihat dari segi ekonomi, mereka yang pinggiran jauh lebih susah disbanding mereka yang dekat dengan sekolah. Akankah mereka harus mengenyam pendidikan di swasta dengan biaya tinggi? Atau salahkan mereka jika mereka harus putus sekolah?
Jadi itulah pemikiran saya tentang system yang ada sekarang. Bagi saya untuk solusi terhadap persoalan pendidikan sekarang bukan soal kemudahan akses rakyat untuk menggunakan system, bukan pula soal zona pemerataan pendidikan yang kita lakukan ini, melainkan bagaimana Negara hadir secara adil untuk pelayanan atas fasilitas sekolah yang disiapkan untuk mereka seluruh anak Indonesia , karena merekalah indicator tujuan Negara “mencerdaskan kehidupan bangsa”.