Tak Ada 'Tari LGBT' dalam Peringatan Hari Tari di Pontianak, Yadi: Pelaku Kekerasan Harus Diusut
Tak Ada 'Tari LGBT' dalam Peringatan Hari Tari di Pontianak, Pelaku Tindak Kekerasan Harus Diusut
Penulis: Nasaruddin | Editor: Nasaruddin
Tak ada "Tari LGBT" pada peringatan Hari Tari yang digelar di seputar Taman Digulis Untan, Senin (29/4/2019).
Penanggungjawab pertunjukan, Kanjeng Raden Tumenggung Erwan Suparlan Adiningrat SSn mengatakan, apa yang ditampilkan, merupakan modern dance dari Amerika, yang merupakan ekspresi sebuah pemberontakan karena ketidakpastian pada saat itu.
Hal itu disampaikan Erwan yang juga dosen prodi seni FKIP Untan, saat diwawancara setelah pertemuan dengan Kasatpol PP, Syarifah Adriana.
Erwan mengatakan, apa yang terjadi di malam itu hanya mis-komunikasi.
"Sebenarnya ini hanya miskomunikasi aja, dari kebebasan berekspresi ada semacam genre-genre. Itu tidak hanya dimusik saja ada genre, tetapi ditarian pun ada. Seperti modern dance diadopsi dari Amerika atau negara lainnya serta tarian lainnya," ucap Kanjeng Raden Tumenggung Erwan Suparlan Adiningrat SSn saat diwawancarai, Selasa (30/4/2019) pukul 00.30 WIB.
Baca: VIDEO Tarian LGBT Viral, Massa Bubarkan Peringatan Hari Tari Sedunia di Taman Digulis Pontianak
Baca: Sayangkan Pernyataan Adanya Perintah Pembubaran Acara Tari, Edi Kamtono Jelaskan Sebenarnya
Hanya kadang-kadang disebutnya masyarakat salah menterjemahkan, orang menari modern dance belum tentu seorang LGBT.
Makanya orang-orang banyak yang belum bisa menerima hal semacam itu.
Kemudian, pas lokasi acara di Taman Digulis disampaikannya ada rumor tempat kumpulnya mereka (LGBT).
Mungkin karena sensitivitas daerah itu banyak orang ngumpul seperti itu, lalu orang beranggapan kalau ada acara, lalu acara LGBT.
Sementara acara yang digelar tadi malam adalah acara sedunia. Memperingati hari tari sedunia.
"Kita sudah mendapat sorotan dari dunia internasional, sebab di Indonesia kota-kota besar seperti bandung, Jakarta, Makasar dan setiap kota yang ada sekolah seninya pasti mengadakan semacam pertunjukan tari," jelasnya.
Memang masyarakat dalam bidang tari sumber dayanya belum sampai, sehingga menurutnya ada kesalahpahaman yang terjadi.
"Kalau kegiatan ini dilaksanakan didaerah Solo, Jogja maka lain lagi respon masyarakatnya, mereka bisa menerima perbedaan dan menerima genre-genre seni tari itu," katanya.
"Yang ditampilkan anak-anak tadi adalah modern dance dari Amerika, ekspresi sebuah pemberontakan karena ketidakpastian pada saat itu," lanjutnya.
Kepala Prodi Pendidikan Seni Pertunjukan FKIP Untan, Ismunandar usai melakukan pertemuan dengan Wali Kota Pontianak menjelaskan, kegiatan 29 April itu adalah kegiatan yang diselenggarakan dan didukung Pemkot Pontianak bekerjasama dengan Ikatan Mahasiswa Program Studi Seni Pertunjukan FKIP Untan.
Jadi ini adalah kegiatan yang legal, diizinkan dalam rangka memeriahkan hari tari dunia.
Dalam merayakan hari tari dunia ini, tentu pihaknya menampilkan seluruh genre kesenian tari.
Dari yang tradisional hingga modern atau tarian populer yang berkembang pada kalangan anak muda sekarang ini. Hingga pertunjukan tari kontemporer dan ini adalah harinya orang tari.
"Sebenarnya kami, sudah meyakini apa yang ditampilkan adalah sebuah hal yang tetap menjaga etika dan norma. Tapi pemahaman tentang seni dimasyarakat yang harus sama-sama dan perlu ruang untuk dialog sehingga tidak salah paham tentang bentuk-bentuk dan genre tarian mulai dari tradisional hingga modern," ucap Ismunandar saat diwawancarai, Selasa (30/4/2019).
Ia berpikir semuanya sebagai masyarakat kesenian sangat all out untuk mengembangkan kesenian tradisi yang ada di Kalbar.
"Kami sangat menyayangkan sekali hal yang terjadi tadi malam, artinya kita masih sangat membuka. Maksudnya kalau dianggap pertunjukan ada hal yang kurang pantas, kami siap untuk diberitahu dan diinformasikan secara baik-baik," tambahnya.
Sesama orang daerah yang ingin memajukan daerah berdasarkan kemampuan masing-masing, begitu juga para penggiat seni.
Apabila ada hal yang tidak baik maka seharusnya berdialog dan tidak menggunakan cara-cara kurang berkenan yang menyebabkan silahturrahmi kurang baik dimintanya.
Terkait viralnya tulisan pernyataan sikap dari oknum seniman, ia menilai itu adalah bentuk kekhawatiran penggiat seni kedepannya.
Apabila cara-cara tidak bijak terus dipertontonkan, sehingga kesannya kesenian tidak akan tumbuh dan tidak bisa diekspresikan secara baik.
Situasi di lapangan yang berkembang adalah hal yang spontan, informasi yang spontan dan itu didengarkan maka itulah yang para penggiat seni tuliskan.
Ismunandar mengakui memang ada tindakan kekerasan yang terjadi dan dirinya sendiri menjadi korban pemukulan.
Ia menambahkan bukanlah Satpol PP yang memukul dan bukan pula Satpol PP yang membubarkan acara.
Pemukulan dilakukan oleh sekelompok masyarakat yang sudah bertindak kasar dan melakukan kekerasan, karena terjadi kesalahpahaman di lapangan sehingga pihak panitia menghentikan pertunjukan tari, pdahal waktunya belum selesai.
"Tidak ada pemukulan dari Satpol PP dan pihak panitialah yang menghentikan acara karena mendapat informasi ada kesalahpahaman," pungkasnya.
Usut Tuntas Pelaku Kekerasan
Puluhan mahasiswa kesenian, dan seniman di Kota Pontianak berkumpul untuk diskusi terkait kejadian dalam gelaran acara peringatan hari tari sedunia atau World Dance Day yang berujung adanya tindak kekerasan, Selasa (30/4/2019).
Nursalim Yadi Anugrah, Seniman Kalbar yang hadir secara langsung pada diskusi ini dan menjadi moderator kegiatan ini menyangkan kegiatan peringatan Hari Tari Sedunia yang berujung dengan tindak kekerasan, yang bermula adanya video modern dance dari peserta yang beredar di media sosial.
"Bagi kami sangat disayangkan, khususnya di ruang ekspresi seni di Kalimantan Barat," ungkapnya.
Menurut Yadi, dari hasil pertemuan dan diskusi yang dilaksanakan, pihaknya mendapatkan beberapa point yang harus dibicarakan secara terbuka.
Dirinya mengatakan harus ada pengusutan tentang oknum yang melakukan tindak kekerasan kepada para praktisi seni di acara peringatan Hari Tari Sedunia.
"Harus diusut, khususnya oknum yang melakukan tindak kekerasan, baik dari institusi pemerintah maupun oknum ormas yang terlibat," ungkapnya.
Point berikutnya, perlu adanya jaminan keselamatan dan keamanan bagi para pelaku seni dalam berekspresi.
"Harus ada jaminan keselamatan, keamanan bagi para pelaku seni dalam kebebasan berekspresi dengan isu-isu yang mereka angkat. Harus ada jaminan, tentang etika dan estetika harus mendapat jaminan," jelasnya.
Dirinya pun berharap, Pemkot dapat menjembatani edukasi kepada masyarakat.
"Pemerintah punya peranan penting dalam ekosistem, khususnya kesenian, keputusan dan segala macam. Jadi kami berharap Pemkot dalam hal ini menjadi jembatan antara seniman dan ekosistem lainnya, masyarakat dalam hal ini, agar tidak terjadi lagi kejadian seperti ini," paparnya.
Dan yang terakhir, dirinya mengharapkan adanya pembukaan ruang dialog agar tidak menguntungkan sepihak dan menindas yang lain.
"Artinya, ketika ruang ekspresi dilarang, dibatasi, ini menjadi sebuah kemunduran dari masyarakat kita terutama dari kebebasan berekspresi," tegasnya.
Terkait isu yang beredar di masyarakat terkait tarian LGBT iapun mempertanyakan hal itu.
"Kita harus punya sudut pandang, dari sudut mana kita melihat itu, untuk memvonis itu tentang LGBT itu batasannya di mana?," katanya.
"Yang beredar di masyarakat itu hanya beberapa detik, tapi itu diidentikan dengan LGBT, dan menurut saya ini tidak bijak, kita langsung memvonis itu. Sebelum kita memvonis sesuatu, kita harus mencari tahu kebenaran itu," ujarnya.
"Apakah dengan kostum terbuka, dan gerakan yang aga gemulai dan segala macam itu langsung bisa diidentikkan dengan LGBT?," katanya.
"Yang harus kita garis bawahi adalah, LGBT itu penyimpangan seksualnya, bukan pada personel yang harus disikapi dengan kekerasan, apalagi membubarkan acara secara keseluruhan. Ini menjadi tidak bijak menurut saya," katanya.
Yadi mengimbau masyarakat sebelum menjustifikasi sesuatu informasi harus mencari tau kebenaran berita terlebih dahulu.
"Sebelum anda menjustifikasi sesuatu, ada baiknya anda telaah dengan baik kebenaran itu sendiri. Banyak sesuatu yang benar dikasi caption yang salah, yang penting bermain di narasi, itu menjadi hal yang seolah-olah itu menjadi sesuatu yang wajib diberangus," pungkasnya.
Kronologi Satpol PP
Kasatpol PP, Syarifah Adriana menjelaskan peristiwa awal karena adanya berita yang tersebar, bahwa tarian yang ditampilkan adalah tarian yang tidak baik.
Laki-laki berbaju "porno" dan ada yang mengatakan bahwa tarian tersebut dari para LGBT karena melihat video yang beredar.
"Dari itulah kita dari Satpol PP berusaha mengamankan dan ternyata kita kalah cepat sama ormas yang mendatangi TKP. Tapi kita masih berhasil mengamankan tiga orang, dan mereka dapat kita proses sebagaimana mestinya," kata Adriana, Selasa (30/4/2019).
Setelah diamankan para penari tersebut, kemudian datanglah penanggung jawab seorang dosen dari Prodi Seni FKIP Untan dan Sanggar tempat penari berlatih.
"Setelah diberikan pengertian dan didata mereka dipulangkan dengan membuat pernyataan terlebih dahulu bahwa tarian itu adalah murni seni dan bukan LGBT," tegasnya.
Kemudian penanggungjawabnya menyetujui bahwa tarian semacam itu tidak boleh dimainkan lagi di Pontianak, sebab masyarakat Pontianak sebetulnya tidak siap menerima hal semacam itu.
"Di sini adalah yang sopan dan sesuai norma yang ada. Kita minta mereka membuat pernyataan baru dipulangkan," tegasnya.