Citizen Reporter
Inspirasi Penulis Muda Buku Merampas Mahkota 'Dongeng Dibalik Layar'
Hefni juga katakan membuat puisi tidak harus di tempat-tempat yang bisa ditentukan. Membuat puisi bisa dimanapun kita berada.
Penulis: Jimmi Abraham | Editor: Dhita Mutiasari
“Bukan hanya sebuah halusinasi fiksi tapi kita melihat fakta dan kenyataan yang ada dalam bentuk pikiran dan segala macamnya. Kalaupun menulis cerpen atau novel itu lebih mudah. Cuma fashion dan hobinya lebih ke puisi,” imbuhnya.
Hefni menambahkan ia masih menggarap novel yang baru setengah jalan. Sementara itu, ia juga telah menulis cerpen yang belum diterbitkan saat ini.
“Untuk puisi, kita melihat era digital. Sekarang itu orang-orang lebih mengedepankan tulisan pendek untuk di-repost, misalnya di Instagram. Tulisan-tulisan pendek untuk dibaca berbanding halnya dengan cerpen maupun novel yang secara lembarnya sangat banyak sampai memasuki ratusan halaman. Itu jarang orang membacanya,” paparnya.
Penulisan puisi menjadi langkah awal membantu orang-orang untuk memulai baca karya sastra. Hefni menceritakan awal mula tertarik dan menulis puisi sudah cukup lama.
“Mulai dari pertama ikut menjadi anggota di forum lingkar pena ranting banyu anyar sewaktu SMP. Itu sekitar tahun 2008, saya mulai menulis puisi. Buku yang sudah terbit mulai pertengahan tahun 2018,” timpalnya.
Selama ini, mahasiswa diidentikan dengan membaca, diskusi dan menulis saja. Jika mahasiswa sudah melupakan tiga ciri khas itu maka perlu dipertanyakan mahasiswanya.
“Untuk membuat seseorang tergugah dalam menulis adalah dengan banyak membaca karya orang. Maka, kita akan mendapatkan inspirasi juga untuk menulis ataupun membaca keadaan-keadaan di sekitar. Kita melihat dan menganalisis realita sosial yang ada dan dituangkan dalam tulisan. Memang selayaknya mahasiswa harus menulis dengan menulis, membaca. Jika kita tidak membaca maka kita tidak akan bisa menulis,” tandasnya. (*).