Natal

Natal Adalah Perwujudan Hikmat Tuhan Untuk Kebaikan Kemanusiaan

Natal bagi umat Kristiani memperingati dan merayakan kembali peristiwa kelahiran Yesus Kristus.

TRIBUNPONTIANAK.CO.ID/ ISTIMEWA
Pdt. Paulus Ajong, M.Th (Ketua PGIW Kalbar / Ketua Resort GKE Pontianak  / Pendeta GKE Pintu Elok Pontianak) 

Laporan Wartawan Tribun Pontianak, Ridhoino Kristo Sebastianus Melano

TRIBUNPONTIANAK.CO.ID, SINGKAWANG - Setiap bulan Desember, seluruh umat Kristiani termasuk di Kalbar merayakan Natal.

Natal bagi umat Kristiani memperingati dan merayakan kembali peristiwa kelahiran Yesus Kristus.

Peristiwa kelahiran Yesus Kristus sejatinya tidak hanya disambut dan dirayakan melalui ibadah ritual saremonial semata, melainkan juga harus nampak dalam ibadah sosial bagi umat yang merayakannya.

Baca: Makna Perayaan Natal Bagi Wabup Kapuas Hulu

Baca: P. Leonard Paskalis Nojo : Natal Adalah Perayaan Kehidupan

Sehingga kehidupan sosial umat Kristiani khususnya dapat memberi kontribusi positif dan menghadirkan solusi atas berbagai persoalan dalam kehidupan sehari-hari baik sebagai pribadi, maupun persoalan dalam keluarga, gereja, dan di tengah-tengah kehidupan masyarakat, bangsa dan negara Indonesia.

Kehidupan sosial seperti apa yang harus diwujudkan? Kehidupan sosial sebagaimana tema Natal nasional PGI-KWI yaitu Yesus Kristus Hikmat Bagi Kita (bdk. I Korintus 1:30a).

Kehidupan yang penuh hikmat. Lebih lagi, bukan hikmat manusia tapi hikmat Tuhan.

Hikmat dengan kata lain, arif dan bijak, yaitu suatu kemampuan yang kita miliki untuk mengerti dan mengetahui kebaikan dan kebenaran dari segala sesuatu yang selanjutnya mempengaruhi perilaku dan karakter hidup seseorang.

Jadi, hikmat dekat dengan segala yang baik, benar, positif dan segala hal yang diperkenan Tuhan dan pasti bermanfaat bagi kemanusiaan.

Semakin seseorang bertambah hikmatnya, maka praksis kehidupannya semakin baik, benar dan bermanfaat bagi dirinya dan orang lainnya.

Sebaliknya orang yang tidak berhikmat sama artinya bebal dan bodoh. Kebebalan dekat dengan segala yang jahat, negatif, buruk, salah dan segala hal yang tidak diperkenan Tuhan dan tidak bermanfaat bagi kemanusiaan.

Semakin manusia bertambah bebal, semakin ia hidup dalam kejahatan, kesalahan dan segala hal yang bertentangan dengan kehendak Tuhan dan bisa mencelakakan dirinya dan sesamanya.

Menurut pemahaman iman Kristen, bahwa sumber hikmat adalah Tuhan. Tuhanlah yang memberikan hikmat dan kepandaian kepada manusia (bdk. Ams. 2:6). Hal itu tersirat dalam narasi penciptaan, bahwa Tuhan menciptakan manusia  menurut gambar dan rupaNya (Kej.1:26-27).

Letak kesegambaran dan keserupaan bukan dalam hal fisik jasmani, melainkan dalam hal hikmat (pengertian, pengetahuan dan kepandaian  baik dan benar).

Hikmat Allah diberikan kepada manusia, sehingga manusia mampu mengerti dan mengetahui kebaikan dan kebenaran menurut Sang Penciptanya.

Sehingga secara normatif, wujud hikmat Allah dalam diri manusia adalah terjalinnya keharmonisan hubungan, baik hubungan manusia dengan Tuhan,  maupun hubungan manusia dengan sesama dan alam ciptaan yang lainnya.

Namun, setelah kejatuhan manusia dalam dosa (Kej.3) mengakibatkan hikmat Allah terlepas dari jangkauan dan pengertian manusia.

Dampaknya, manusia hidup hanya menurut hikmat manusia,  lebih parah lagi manusia hidup dalam kebebalan dan kebodohan (bdk. Amsal 9).

Dampaknya, terjadinya ketidakharmonisan hubungan, baik antara manusia dengan Allah, maupun hubungan manusia dengan sesama dan alam sekitar.

Kerusakan hubungan manusia dengan Allah nampak ketika hikmat manusia (Pengetahuan, Pengertian dan akal pikiran) bukan untuk tahu dan mengerti apa yang baik dan benar menurut kehendak Allah, tetapi justru digunakan untuk meragukan, menolak bahkan melawan keberadaan Allah.

Kerusakan hubungan manusia dengan Allah berdampak pula rusaknya hubungan manusia dengan sesamanya dan alam sekitarnya.

Dalam konteks hubungan antar sesama nampak di satu sisi manusia masing-asing merasa paling benar sendiri, ingin menang sendiri, ingin selamat sendiri, dan saat bersamaan manusia rela mengobankan, menghancurkan dan membinasakan sesamanya.

Al hasil, dari 3.400 tahun peradaban  sejarah dunia tercatat, hanya 250 tahun saja dunia ini aman, nyaman, damai dan saling memanusiakan.

Selebihnya peradaban manusia lebih dominan hubungan serigala bagi sesamanya. Yaitu hubungan penuh  iri, dengki, benci, dendam, amarah, kekerasan, perampasan, pertikaian, pembunuhan, perang ; antar pribadi, kelompok dan antar negara(bdk. Muchtar Kusumaatmaja).

Begitu juga hubungan manusia dengan alam. Manusia memandang alam semata-mata sumber keuntungan ekonomi, yang harus dikeruk dan dieksloitasi sebesar-besarnya untuk keuntungan.

Akibatnya; kerusakan dan kepunahan ekologi tidak terhindarkan, yang pada gilirannya menjadi sumber bencana bagi kehidupan: banjir, tanah lonsor, kabut asap, kekeringan dan bencana alam lainnya.

Dalam iman Kristen, Kelahiran Yesus Kristus diimani sebagai perwujudan hikmat Allah bagi manusia (1 Kor.1:24).

Supaya manusia yang berdosa dan telah kehilangan hikmat Allah dapat dibenarkan, dikuduskan dan ditebus dan selanjutnya terjadinya pemulihan kembali “hikmat Allah” bagi manusia ( 1 Kor.1:30). Karenanya, makna Natal bagi umat Kristen di Indoensia umumnya dan di Kalbar khususnya adalah pentingnya umat Kristiani hidup berhikmat dalam segala hal; baik sebagai pribadi, maupun dalam keluarga, gereja dan di tengah masyarakat bangsa dan negara.

Kehidupan berhikmat, berarti umat Kristiani berjuang untuk hidup dalam kebaikan, kebenaran, kejujuran, peramah, penyabar, mau saling peduli dan berbagi dengan sesama.

Saat bersamaan umat berusaha menjauhi segala pikiran dan perbuatan yang jahat, negatif, buruk dan bisa mencelakan diri sendiri dan orang lain, seperti penyalahgunaan narkoba, miras, pergaulan bebas/menyimpang dan pelanggaran moral, etika dan hukum.

Begitu juga dalam Keluarga, kehidupan berhikmat sangat menentukan bukan hanya keutuhan keluarga tapi juga kualitas hidup keluarga.

Suami dan istri berhikmat akan selalu menjaga dan melindungi hubungan pernikahan, dari segala macam bentuk godaan dan cobaan, seperti perselingkuhan dan kekerasan dalam rumah tangga.

Suami berhikmat pasti mengasihi istrinya dan anak-anaknya. Istri berhikmat pasti tunduk dan hormat pada suaminya.

Orang tua mendidik anak-anak dengan kasih-sayang dan anak-anak menghormati dan patuh terhadap orang tua.

Lebih lagi, hidup berhikmat dan bijaksana mutlak kita perlu dalam konteks keindonesiaan yang sangat majemuk.

Kemajemukan seperti pisau bermata dua, bisa positif : sumber kekuatan, tetapi juga bisa negatif : sumber ancaman dan perpecahan.

Kemajemukan menjadi sumber kekuatan jika yang berbeda-beda bijak memaknai perbedaan dengan mengedepankan sikap saling terbuka, saling menerima, saling tenggang rasa dan bisa bekerjasama.

Kemerdekaan Indonesia adalah perujudan hikmat dan kebijaksanaan para pendahulu dan pendiri bangsa kita yang harus terus kita wariskan.

Sebaliknya, kemajemukan juga bisa menjadi sumber ancaman dan perpecahan, jika yang berbeda-beda tidak bijaksana menyikapi perbedaan yang adalah keniscahyaan.

Terutama jika yang berbeda-beda mengedepan sikap  yang hanya ingin menang sendiri, merasa paling benar sendiri, intoleransi dan bahkan berusaha untuk saling mengeliminasi.

Sudah banyak bukti negara-negara yang hancur karena kurang bijak menyikapi perbedaan yang ada.

Semoga melalui makna Natal tahun ini, umat Kristen khususnya dapat mengupayakan kehidupan yang berhikmat di Kalbar khususnya dan Indonesia umumnya dalam bentuk ikut menjaga keutuhan NKRI, menjunjung tinggi hak asasi manusia dan menjaga dan melestarikan lingkungan hidup, supaya tetap layak untuk menopang kehidupan bersama.

Selamat merayakan Natal 25 Desember 2018 dan selamat menyambut Tahun Baru 1 Januari 2019. Tuhan memberkati. Amin. (*)
 

-- 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved