Kuasai Freeport 51,2 %, Mahfud: Pemerintah SBY Upaya Tapi Gagal, Jokowi Kesulitan Tapi Berhasil

Sahabat saya Pak @mohmahfudmd mungkin lupa 3 bulan kemudian Gus Dur diganti. CEO James Moffett sudah ngaku salah, makanya bersedia bayar $5M daripada

Penulis: Rihard Nelson | Editor: Rihard Nelson
KOMPAS.COM
Mahfud MD 

Kuasai Freeport 51,2 %, Mahfud: Pemerintah SBY Upaya Tapi Gagal, Jokowi Kesulitan Tapi Berhasil 

TRIBUNPONTIANAK.CO.ID, PONTIANAK - PT Inalum (Persero) resmi membeli sebagian saham PT Freeport Indonesia.

Terkait dengan pengalihan saham, INALUM telah membayar 3.85 miliar dollar AS kepada Freeport McMoRan Inc. (FCX) dan Rio Tinto, untuk membeli sebagian saham FCX dan hak partisipasi Rio Tinto di PTFI sehingga kepemilikan INALUM meningkat dari 9.36 persen menjadi 51.23 persen.

Kepemilikan 51.23 persen tersebut nantinya akan terdiri dari 41.23 persen untuk INALUM dan 10 persen untuk Pemerintah Daerah Papua.

Saham Pemerintah Daerah Papua akan dikelola oleh perusahaan khusus PT Indonesia Papua Metal dan Mineral (IPPM) yang 60 persen sahamnya akan dimiliki oleh INALUM dan 40 persen oleh BUMD Papua.

Pemerintah melalui Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Bambang Gatot Ariyono telah menyerahkan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) kepada PT Freeport Indonesia.

Hal ini menandakan Indonesia resmi memiliki 51,2 persen saham PTFI. 

Baca: Di Bawah Jokowi Freeport Tunduk

Baca: Presdir Freeport Indonesia Mundur, Rizal Ramli: Ohh, No Comment

Baca: Ini Komentar Istri Bahasan, Suaminya Dilantik Sebagai Wakil Wali Kota

Dengan adanya IUPK, PTFI akan mendapatkan kepastian hukum dan kepastian berusaha dengan mengantongi perpanjangan masa operasi 2 x 10 tahun hingga 2041, serta mendapatkan jaminan fiskal dan regulasi.

Namun performa saham Freepport McMoran dalam setahun terakhir terus menunjukkan tren penurunan.

Dalam lima hari terakhir, harga sahamnya turun 4,92 persen. Selama sebulan terakhir turun 6,69 persen dan setahun terakhir anjlok 44, 48 persen.

Keberhasil akuisisi hingga keberlanjutan bisnis Freeport ini juga mendapatkan sorotan dari Pakar Hukum Tata Negara  Profesor Mahfud MD yang juga mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK).

Seperti dikutip dari Twitter Mahfud MD @mohmahfudmd, pada Sabtu (22/12/2018) menyebutkan kepemilikan 51,2 persen Pemerintah RI atas Freeport sebagai 'heboh meriah'. 

Baca: Setelah Dilantik, Edi Kamtono Perjuangkan Tiga Jembatan di Kota Pontianak

"Heboh-meriah ttg Freeport memasuki babak baru. Sejak 21/12/18 Indonesia behasil memaksa divestasi, mengambil 51% saham Freeport. Apa dan bagaimana problem Freeport selama ini, bnyk yg tdk tahu; tahunya hanya ribut-ributnya. Yuk, pahami, agar debat2 kita proporsional," cuit Mahfud.

"Awal Orba Indonesia mengalami keterpurukan ekonomi yg parah. Pemerintah perlu investasi besar sementara tata hukum blm tertib, hukum pengelolaan SDA blm ada. Pd 1967 Pemerintah mengizinkan Freeport menambang emas dgn sistem kontrak karya (KK). KK inilah biangnya,"

"Dgn sistem KK berarti Freeport (Bisnis swasta) disejajarkan dgn Pemerintah. Dgn sistem KK, operasi Freeport dilakukan dlm bentuk perjanjian (perdata) antara Pemerintah dan Freeport yg berlaku 1971-1988. Anehnya pd 1991 sistem KK ini diperpanjang dgn materi yang aneh,".

"Dgn sistem KK, maka utk mengubah perjanjian hrs diubah dgn perjanjian baru dlm posisi yang sejajar antara Pemerintah dan Freeport. Tp ini bermasalah krn, entah apa logikanya, ada materi yg disetujui oleh Pemerintah dgn pengetahuan DPR yg menguntungkan Freeport,". 

Baca: Kebakaran Hebat di Jl Mahakam, Saksi Mata Sebut Api Berasal Dari Toko Pancing

"Dgn sistem KK, Freeport selalu menolak utk divestasi saham 51% utk Indonesia. Sulitnya, Pemerintah dgn sepengtahuan DPR dlm perjanjian bhw jika masa kontrak habis Freeport dpt minta perpanjangan 2X10 thn dan pemerintah Indonesia tdk menghalangi tanpa alasan rasional,".

"Krn sistemnya adl kontrak karya yg sah, maka Freeport selalu mengancam akan membawa ke arbitrasi internasional jika dipaksa mendivestasikan sahamn 51% kpd Indonesia. Meski bs dihadapi tpi tetap tdk ada jaminan menang bg Indonesia jika diarbitrasikan, krn ini perdata,".

"Pd 2009, Indonesia mengundangkan UU No. 4 Thn 2009 yg isinya mengubah bentuk KK menjadi bentuk izin usaha. Freeport tdk bisa lagi disejajarkan dgn Pemerintah. Kontrak Freeport hrs dilakukan dgn badan usaha yg berbisnis dlm lapangan perdata atas izin Pemerintah kita,".

"Stlh keluar UU No. 4 Thn 2009 Freeport msh ngotot ingin mempertahankan posisi kontraknya. Pemerintahan SBY sdh melakukan upaya2 tp gagal, selalu diancam akan diarbitasikan. Awalnya Pemerintahan Jkw pun kesulitan jg, tp akhirnya bs selesai: 51% saham kita miliki,".

Penjelasan Mahfud dalam akun twitternya lantas mendapatkan respon dari Pakar Ekonomi dan Politikus Indonesia yang pernah menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Republik Indonesia, Rizal Ramli.  

"Sahabat sayanPak @mohmahfudmd hanya lihat dari luar dan secara normatif. Kontrak Kedua Freeport 1991 cacat hukum, krn ada penyogokan thd Mentri Pertambangan Indonesia," cuit Rizal Ramli lewat akun twitternya @RizalRamli.

Pendapat Rizal Ramli ini lantas disambut Mahfud MD.

"Sahabat sy Pak RR betul, sy berbicara normanya. Krn disitulah simpul problemnya. Tp Pak RR kan pernah di posisi penting. Kalau tahu ada cacat hukum atau penyogokan saat itu, mengapa saat Anda jd menkeu tak anda selesaikan? Jawabannya, tentu, krn masalahnya tak semudah itu,".

Rizal Ramli kembali membalas dan mengungkapkan praktik sogok di Freeport. 

"Sahabat saya Pak @mohmahfudmd mungkin lupa 3 bulan kemudian Gus Dur diganti. CEO James Moffett sudah ngaku salah, makanya bersedia bayar $5M daripada masuk penjara krn menyogok pejabat RI,".

Mahfud kembali memberikan pendapatnya.

"Kalau begitu faktanya berarti benar, masalah Freeport hrs dilakukan dgn nego utk kontrak baru spt divestasi. Soal pengakuan James Moffett itu soal terpisah krn skrang sdh lewat dari 18 tahun. Pak RR, nect week kita atur lunch atau dinner lagi ya. Kangen berdiskusi lagi,". (*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved