Ustadz Abdul Somad Terima Gelar dari Kerajaan Matan Tanjungpura, Netizen Takbir!

Ustadz Abdul Somad menghadiri Tabligh Akbar dengan tema Pemuda Hari Ini, Pemimpin Masa Depan, di Ketapang, Kalimantan Barat, Sabtu (20/10/2018).

Penulis: Hasyim Ashari | Editor: Agus Pujianto
Facebook/Royal Matan
Pangeran Kertanegara H Gusti Kamboja saat memberikan gelar kehormatan kepada Ustadz Abdul Somad, Sabtu (20/10/2018). 

Ibukota Kerajaan Tanjungpura beberapa kali mengalami perpindahan dari satu tempat ke tempat lainnya.

Beberapa penyebab Kerajaan Tanjungpura berpindah ibukota adalah terutama karena serangan dari kawanan perompak (bajak laut) atau dikenal sebagai “Lanon”.

Lonon, di masa itu sepak-terjang gerombolan “Lanon” sangat kejam dan meresahkan penduduk. Kerajaan Tanjungpura sering beralih pusat pemerintahan adalah demi mempertahankan diri karena sering mendapat serangan dari kerajaan lain.

Kerap berpindah-pindahnya ibukota Kerajaan Tanjungpura dibuktikan dengan adanya situs sejarah yang ditemukan di bekas ibukota-ibukota kerajaan tersebut.

Negeri Baru di Ketapang merupakan salah satu tempat yang pernah dijadikan pusat pemerintahan Kerajaan Tanjungpura.

Baca: Berjumpa dengan Ustadz Abdul Somad, Ini yang Dilakukan Aktor Ganteng Dimas Seto

Dari Negeri Baru, ibukota Kerajaan Tanjungpura berpindah ke Sukadana.

Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Zainuddin (1665−1724), pusat istana bergeser lagi, kali ini ditempatkan di daerah Sungai Matan (Ansar Rahman, tt:110).

Dari sinilah riwayat Kerajaan Matan dimulai.

Seorang penulis Belanda menyebut wilayah itu sebagai Kerajaan Matan, kendati sesungguhnya nama kerajaan tersebut pada waktu itu masih bernama Kerajaan Tanjungpura (Mulia [ed.], 2007:5).

Pusat pemerintahan kerajaan ini kemudian berpindah lagi yakni pada 1637 di wilayah Indra Laya.

Indra Laya adalah nama dari suatu tempat di tepian Sungai Puye, anak Sungai Pawan.

Kerajaan Tanjungpura kembali beringsut ke Kartapura, kemudian ke Desa Tanjungpura, dan terakhir pindah lagi ke Muliakerta di mana Keraton Muhammad Saunan sekarang berdiri.

Nama Matan sendiri mulai digunakan pada era pemerintahan Sultan Muhammad Zainuddin yang merupakan raja pertama Kerajaan Matan.

Baca: Ustadz Abdul Somad Sampai Minta Ampun pada Allah SWT, Ternyata Ini Penyebabnya!

Sultan Muhammad Zainuddin, yang memiliki nama kecil Gusti Jakar Negara, adalah putra sulung dari Raja Sukadana yang terakhir, yaitu Gusti Kesuma Matan alias Gusti Mustika (1622—1665) yang juga memiliki dua anak lainnya, yakni Pangeran Agung dan Indra Mirupa atau Indra Kesuma.

Gusti Mustika sendiri merupakan Raja Matan pertama yang menggunakan gelar sultan, gelar raja yang berciri Islam, dan menyandang gelar Sultan Muhammad Syaifuddin.

Agama Islam sendiri sudah masuk ke Kalimantan sejak permulaan tahun 1550 yang dibawa kaum pedagang Arab dari Palembang.

Pada akhir pemerintahan Kerajaan Sukadana di bawah Sultan Muhammad Syaifuddin, terjadi peperangan yang dikenal sebagai Perang Sanggau.

Selain itu, pada 1622 Kerajaan Sukadana juga mendapat serangan dari Kerajaan Mataram Islam yang dipimpin oleh Sultan Agung.

Tidak hanya itu, gangguan dari gerombolan bajak laut di sepanjang perairan pantai dan Selat Karimata pun semakin merajalela. Kekacauan demi kekacauan inilah yang kemudian berakibat pada runtuhnya Kerajaan Sukadana.

Baca: Kisah Inspiratif yang Mengharukan Ini Membuat Ustadz Abdul Somad Meneteskan Air Mata

Agar tetap bertahan, maka pusat Kerajaan Matan dipindahkan ke wilayah yang kemudian dikenal sebagai tempat berdirinya Kerajaan Matan di bawah pimpinan putra mahkota Sultan Muhammad Zainuddin.

Sultan Muhammad Muazzuddin memiliki tiga orang putra, yaitu Gusti Bendung, Gusti Irawan, dan Gusti Muhammad Ali.

Ketika Sultan Muhammad Muazzuddin wafat, ditunjuklah Gusti Bendung atau Pangeran Ratu Agung sebagai penerus tahta Kerajaan Matan dengan gelar Sultan Muhammad Tajuddin (1738−1749).

Sementara anak kedua Sultan Muhammad Muazzuddin, yaitu Gusti Irawan, menjadi raja di Kayong (Muliakerta).

Dengan gelar Sultan Mangkurat yang membawahi Kerajaan Kayong-Matan (sering pula disebut sebagai Kerajaan Tanjungpura II).

Pada kurun berikutnya (1749−1762), pemerintahan Matan dipegang oleh anak tertua dari Sultan Muhammad Tajuddin yaitu Sultan Ahmad Kamaluddin yang bernama asli Gusti Kencuran (Mulia [ed.], 2007:24).

Terakhir, tahta kuasa Kerajaan Matan diturunkan kepada Gusti Asma yang bergelar Sultan Muhammad Jamaluddin (1762−1819).

Baca: Beli Paket Umrah Alfa Kaza Mustika, Jamaah Bisa Bareng Ustadz Abdul Somad

Sultan inilah yang menjadi raja pamungkas Dinasti Matan.

Karena setelah itu pusat pemerintahan dipindahkan ke wilayah bernama Simpang.

Letaknya tidak seberapa jauh dari Matan. Dan nama kerajaannya pun berubah menjadi Kerajaan Simpang atau sering pula dikenal sebagai Kerajaan Simpang-Matan.

Karena kerajaan ini merupakan kelanjutan dari Kerajaan Matan.

Dengan demikian, terdapat dua kerajaan yang menyandang nama Matan.

Yaitu Kerajaan Simpang-Matan di bawah komando Sultan Muhammad Jamaluddin, dan Kerajaan Kayong-Matan yang dipimpin oleh Gusti Irawan atau Sultan Mangkurat.

Jika diurutkan, terdapat beberapa kerajaan yang merupakan keturunan dari Kerajaan Tanjungpura.

Yaitu Kerajaan Sukadana, Kerajaan Matan, Kerajaan Simpang-Matan, serta Kerajaan Kayong-Matan.

Di antara kerajaan-kerajaan tersebut masih terjalin hubungan kekerabatan yang cukup erat kendati masih sering terjadi pasang surut. Karena beberapa sebab perselisihan dan campur tangan penjajah Belanda. (*)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved