Rapat Paripurna DPRD Kalbar, Gubernur Sutarmidji Usulkan Dua Raperda
“Biaya operasional Panitia Penyelenggara Ibadah Haji dan petugas operasional pusat dan daerah dibebankan pada APBN dan APBD,” ungkapnya.
Penulis: Jimmi Abraham | Editor: Dhita Mutiasari
Laporan Wartawan Tribun Pontianak, Rizky Prabowo Rahino
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID, PONTIANAK - Gubernur Kalimantan Barat H Sutarmidji mengusulkan dua Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Provinsi Kalimantan Barat saat Rapat Paripurna DPRD Provinsi Kalimantan Barat di Ruang Balairung Sari DPRD Provinsi Kalimantan Barat, Senin (15/10/2018).
Dua raperda itu yakni Raperda tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Pembiayaan Transportasi Lokal Jemaah Haji, serta Raperda tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah.
Sutarmidji menegaskan latar belakang Raperda tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Pembiayaan Transportasi Lokal Jemaah Haji lantaran merupakan amanah Undang-Undang (UU).
Berdasarkan ketentuan Pasal 11 ayat (3) dan ayat (4) UU Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 34 Tahun 2019 menyatakan bahwa Gubernur atau Bupati/Wali Kota dapat mengangkat petugas yang menyertai jemaah haji terdiri atas Tim Pemandu Haji Daerah (TPHD) dan Tim Kesehatan Haji Daerah (TKHD).
“Biaya operasional Panitia Penyelenggara Ibadah Haji dan petugas operasional pusat dan daerah dibebankan pada APBN dan APBD,” ungkapnya.
Midji sapannya menambahkan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 34 Tahun 2009 menyatakan bahwa Transportasi Jemaah Haji dari daerah asal ke embarkasi dan dari debarkasi ke daerah asal menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah (Perda).
“Dari ketentuan UU itu, sudah jelas bahwa biaya operasional TPHD dan TKHD dibebankan pada APBD. Biaya transportasi jemaah haji dari daerah asal ke embarkasi dan dari debarkasi ke daerah asal menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah yang ditetapkan melalui Perda,” terangnya.
Ibadah haji, kata Midji, merupakan rukun Islam Kelima yang wajib dilaksanakan oleh setiap orang beragama Islam. Kewajiban ini dibebankan bagi setiap muslim yang telah memenuhi syarat istita’ah baik secara finansial, fisik, maupun mental untuk sekali seumur hidup.
“Penyelenggaraan ibadah haji harus didasarkan pada prinsip keadilan untuk memperoleh kesempatan yang sama bagi setiap Warga Negara Indonesia (WNI) beragama Islam,” imbuhnya.
Di Indonesia, ibadah haji melibatkan banyak pihak atau stakeholder misalnya agen perjalanan, koordinasi antar pemerintah, hubungan antar negara, perusahaan katering, hotel pembimbing haji dan sebagainya. Haji bukan hanya menyangkut hal-hal yang bersifat religius saja, melainkan juga bersinggungan dengan persoalan lain termasuk administratif, bisnis, ekonomi dan hubungan antar negara. Peran pemerintah dalam penyelenggaraan ibadah haji sangat mutlak diperlukan.
“Pemerintah telah semaksimal mungkin membuat peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan ibadah haji, baik berbentuk UU, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Agama dan sebagainya,” imbuhnya.
Terkait Raperda tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah, Midji menjelaskan dalam hakekatnya pengelolaan barang milik daerah berfungsi sebagai subsistem mendukung terlaksananya sistem pengelolaan keuangan pemerintah yang baik dan handal.
“Sehingga, kebijakan terkait pengelolaan barang milik daerah harus menyesuaikan dengan kebijakan terkait pengelolaan keuangan daerah,” timpalnya.
Pemerintah daerah, terang dia, sebagai entitas yang memiliki kewajiban untuk mengelola dan melaporkan pengelolaan keuangan dan aset daerah diwajibkan untuk melakukan perubahan atas produk hukum daerah yang sudah tidak sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah, serta Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 19 Tahun 2016 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Milik Daerah sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 511 ayat (2) Peraturan Menteri Dalam Negeri.
“Maka, Pemprov Kalbar wajib melakukan pergantian atas Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah yang sudah tidak lagi relevan dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya,” paparnya.
Secara filosofis pengelolaan barang milik daerah dilandasi oleh pemikiran bahwa pengelolaan barang milik daerah yang baik sangatlah diperlukan guna mewujudkan tata pemerintahan yang baik (good governance). Pengelolaan barang milik daerah yang baik memerlukan dukungan perangkat peraturan perundang-undangan memadai.
Hal ini bertujuan menjamin harmonisasi dan sinkronisasi antara pengelolaan keuangan daerah dengan pengelolaan aset daerah, mengingat pengelolaan barang milik daerah merupakan sub sistem dan pengelolaan keuangan daerah.
“Pengaturan yang memadai mengenai pengelolaan barang milik daerah diharapkan dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengamanan dan optimalisasi pendayagunaan barang milik daerah dengan mendasarkan pada kaidah-kaidah atau ketentuan peraturan perundang-undangan,” ujarnya.
Midji menimpali barang milik daerah sebagai satu diantara unsur penting dalam rangka penyelenggaraan pemerintah dan pelayanan kepada masyarakat harus dikelola dengan baik dan benar.
“Namun, dinamika pengelolaan barang milik daerah semakin berkembang dan kompleks belum dapat dilaksanakan secara optimal lantaran adanya beberapa permasalahan muncul, serta adanya praktik pengelolaan yang penanganannya belum dapat dilaksanakan sesuai dengan peraturan pemerintah dimaksud,” pungkasnya. (Pra).