Citizen Reporter

Generasi Muda Harus Berdiri Tangguh Menghadapi Segala Isu Politik

Oleh karena itu, generasi muda yang saat ini menjadi ujung tombak negeri harus mampu mengendalikan berbagai isu yang ada

TRIBUNPONTIANAK.CO.ID/ ISTIMEWA
Suasana Ngobras ke-II di Kafe Kemang, Jalan Reformasi, Jumat (28/9/2018) malam. 

Citizen Reporter

Mahasiswi Ilmu Politik

Rizka Nanda

TRIBUNPONTIANAK.CO.ID, PONTIANAK - Sebut saja ini musim ketiga tahun ini di Indonesia. Pesta demokrasi belum habis. Setelah pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak 2018.

Kini Indonesia masuk dalam tahapan pemilihan umum calon legislatif dan pemilihan presiden serentak 2019.

Momentum semacam ini menjadi wadah bagi masing-masing pemilik kepentingan untuk melancarkan aksinya.

Baca: Sambangi Warga, Kepolisian dan Masyarakat Desa Tanah Hitam Deklarasikan Pemilu Damai

Baca: Wadir Jurkamnas Jokowi-KH Maruf Sebut Peran Cornelis Sangat Penting

Oleh karena itu, generasi muda yang saat ini menjadi ujung tombak negeri harus mampu mengendalikan berbagai isu yang ada pada saat pesta demokrasi ini.

"Tahun politik ini pada akhirnya membuat kita harus melihat lebih jauh. Bagaimana hal terbaik yang harus kita lakukan untuk mengubah suasana yang sangat riuh," ujar Mahasiswi Ilmu Politik Universitas Tanjungpura (Untan) Pontianak Cut Mutia saat Ngobrol Santai Seputar Dunia Politik (Ngobras) ke-II di Kafe Kemang, Jalan Reformasi, Jumat (28/9) malam.

Mahasiswi semester akhir ini menuturkan para generasi muda harus  mampu menanamkan kritik yang tidak serta merta langsung melayang di udara. Hal-hal kecil yang mendinginkan suasana juga sangat diperlukan.

"Esensi seperti itu lah yang harus kita kembangkan sebelum mengkritik pemerintah," tegasnya.

Ia mengatakan, saat ini generasi muda sedang terombang-ambing dengan banyaknya isu dimasa pesta demokrasi ini. Sehingga hal itu, memaksa anak muda harus berdiri tangguh menghadapi segala isu yang ada.

Ia juga menekankan kepada mahasiswa di seluruh pelosok negeri. Mereka harus mengetahui apa yang harus dilakukan.
Tidak hanya sekedar mendapat tittle lalu tak tahu arah kemana.

"Maka dari itu harus berorganisasi. Walaupun kadang kebungkam karena tidak tau arah. Dari organisasi itu akan bisa merealisasikan hasil konsep dari pemikiran sendiri," ungkapnya.

Menurutnya organisasi itu pentig. Karena bisa mengajarkan generasi muda untuk dapat membandingkan apa itu konsep dan teori.

Sehingga bisa mengetahui hak masing-masing.

"Sekarang bukan jamannya lagi mahasiswa salah jurusan. Dengan prodi kita dapat pengetahuan disitu sebenarnya berkah. Saya berharap tidak ada lagi pemikiran seperti itu," tukasnya.

Sementara, Sekretaris Jendral Ikatan Lembaga Mahasiswa Ilmu Sosial dan Ilmu Politik indonesia (ILMISPI) Bambang Sudarmono menuturkan para generasi muda harus dapat menjadi lead the change dalam menghadapi tahun politik. Berarti pemimpin perubahan yang artinya bukan oposisi.

"Jadi kritik yang disampaikan sifatnya solusi bagi pemerintah. Kemudian saat ini anak muda literasi bacanya kurang. Walaupun sudah berorganisasi malang melintang tapi berbicara tentang literasi masih krisis," ungkap Bambang.

Menurut Bambang ada dua isu seksi menjelang pilpres. Pertama isu milenial. Apakah mau generasi milenial dipakai sebagai alat dan terjerumus dalam isu politik. Kemudian politik emak-emak. Ia merasa kaum perempuan harus fokus mendiskusikan ini. Supaya tidak dipolitisasi.

"Dan kita ini sedang berada di zaman diskrupsi atau perubahan cepat," katanya.

Ada tiga terminologi dizaman diskrupsi. Pertama bicara tentang revolusi industri ke-IV.

Masyarakat hari ini menggunakan satu jari menggunakam gadget bisa mengakses semuanya. Sehingga tidak memungkiri adanya politik identitas.

Hal tersebut juga menuntut para generasi muda untuk bisa mengendalikan fungsi gadget itu.

"Karena virus gadget ini sudah membuat kita lupa. Tidak pernah mau berpikir berubah. Padahal semuanya tersedia. Sayangnya, gadget difungsikan hanya untuk chatting," bebernya.

Selanjutnya, saat ini para generasi muda juga dituntut untuk berpikir yang benar dengan memberikan ide-ide kepada pemerintah. Zaman diskrupsi itu tidak bisa diambil oleh pemikiran orang tua. "Jangan didikte oleh teknologi. Berjuang dulu yang penting. Jangan hidup ini tidak punya planning," tegasnya.

Kemudian, para generasi muda harus menghindar dari cara berpikir oposisi. Menurut Bambang, jika cara berpikir oposisi sudah tertanam didalam batin generasi muda.

Maka mereka akan melakukan kritik walaupun tidak pakai data. Oleh karena itu, generasi muda harus berada ditengah. Harus cenderung kepada kebenaran.

"Yang keliru harus dikritisi, dengan cara menawarkan konsepsi bagaimana menangani revolusi mental itu," tandas Bambang.

Dosen Sejarah Sosial Ilmu Politik Herri Junius menegaskan para generasi muda tidak boleh menjadi sasaran empuk para aktor intelektual.

Hal tersebut juga harus dibarengi dengan dukungan dari masyarakat luas.

 "Sejarah Indonesia berdiri juga banyak dari pemuda. Reformasi 98 mampu menggulingkan Soeharto kenapa? Karena mahasiswa dapat dukungan dari rakyat," tuturnya.

Herri mengakui perkembangan di Indonesia memang lambat dari negara lain. Kendati begitu bukan berarti Indonesia kalah.

Oleh karena itu, dalam situasi tahun politik seperti ini. Generasi muda harus dapat membantu masyarakat lain yang masih buta terhadap politik.

"Pola pikir harus berubah. Akses informasi sudah gampang. Kemudian mahasiswa politik juga harus tahu setelah ini mau kemana," pungkas Herri. (*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved