Setya Novanto Divonis 15 Tahun Penjara, Denda Rp 500 Juta

Setelah menjalani serangkaian sidang praperadilan, hakim tunggal Cepi Iskandar mengabulkan sebagian permohonan Setya.

Penulis: Marlen Sitinjak | Editor: Marlen Sitinjak
ANTARA
Tersangka kasus korupsi KTP Elektronik Setya Novanto berjalan untuk menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, Rabu (31/1). Setya Novanto menjalani pemeriksaan lanjutan dalam kasus korupsi KTP Elektronik. 

TRIBUNPONTIANAK.CO.ID - Mantan Ketua DPR-RI, Setya Novanto divonis 15 tahun penjara atas kasus korupsi e-KTP, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa (24/4/2018). 

Setya Novanto juga didenda Rp 500 juta subsider 3 bulan penjara

Vonis ini berkurang setahun dari tuntutan jaksa 16 tahun.

Setya Novanto dan Jaksa Penuntut Umum (JPU) memilih pikir-pikir atas putusan ini. 

Majelis hakim pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta meyakini bahwa terdakwa Setya Novanto telah terbukti memperkaya diri dalam proyek pengadaan Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik (e-KTP).

Baca: Ingin Wajah Cantik Seperti Artis Korea Tanpa Harus Operasi? Yuk Coba Ikuti Tren Jumsu!

Baca: Wow, Beginilah Rute Yang Dilewati Karolin Menuju Daerah Pedalaman dan Perbatasan

Proses hukum terhadap Setya juga tak lepas dari drama.

Dilansir dari berbagai sumber, berikut perjalanan kasus yang menjerat Setya Novanto:

17 Juli 2017

KPK mengumumkan penetapan Setya Novanto sebagai tersangka kasus korupsi e- KTP.

4 September 2017

Setya Novanto mendaftarkan gugatan praperadilan terhadap KPK ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Setya meminta penetapan statusnya sebagai tersangka dibatalkan.

29 September 2017

Setelah menjalani serangkaian sidang praperadilan, hakim tunggal Cepi Iskandar mengabulkan sebagian permohonan Setya.

Penetapan tersangka Setya dianggap tidak sah alias batal. Hakim meminta KPK untuk menghentikan penyidikan terhadap Setya.

10 November 2017

KPK kembali mengumumkan menetapkan Setya Novanto menjadi tersangka e-KTP.

Setya kembali mengajukan praperadilan untuk menuntut hal yang sama, pembatalan status tersangka.

15 November 2017

KPK menjemput paksa Setya karena sudah tiga kali mangkir dari pemeriksaan.

Enam pegawai KPK menyambangi Setya di kediamannya, Jalan Wijaya XIII Nomor 19, Melawai, Jakarta Selatan pada Rabu malam, 15 November 2017.

Namun, penyidik tidak menemukannya. KPK kemudian memasukkan Setya dalam daftar pencarian orang (DPO).

16 November 2017

Setya dilarikan ke Rumah Sakit Medika Permata Hijau setelah mobil yang dia tumpangi mengalami kecelakaan tunggal di daerah Permata Hijau, Jakarta Barat.

Kecelakaan itu berbuntut proses hukum.

Pengacara Setya saat itu, Fredrich Yunadi dan dokter RS Medika Permata Hijau, Bimanesh Sutarjo ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK atas dugaan merintangi penyidikan, 10 Januari 2018.

Fredrich dan Bimanesh diduga memaninipulasi data medis kecelakaan Setya untuk menghindarkan dari pemeriksaan KPK.

17 November 2017

KPK menahan Setya sebagai tersangka e-KTP.

Belum diperiksa penyidik, Setya kemudian mengaku sakit, hingga diantarkan ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM).

5 Desember 2017

Berkas perkara Setya dinyatakan telah P21 atau lengkap.

Esoknya, berkas berupa dakwaan dan berita acara pemeriksaan dalam enam buku dengan tinggi mencapai 1 meter itu dilimpahkan ke pengadilan oleh KPK.

7 Desember 2017

Sidang praperadilan jilid II Setya Novanto digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

13 Desember 2017

Sidang putusan praperadilan Setya Novanto digelar di Pengadilan Jakarta Selatan.

Di hari yang sama, sidang perdana pokok perkara Setya juga digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

Hakim tunggal sidang praperadilan Setya, Kusno memutuskan gugatan Setya gugur saat sidang pokok perkara kasus e-KTP dimulai.

Di sidang perdana pokok perkara, Jaksa mendakwa Setya telah memperkaya diri dengan menerima aliran dana e-KTP sebesar US$ 7,3 juta.

Dalam sidang pokok perkara itu, Setya beberapa kali diam ketika ditanya oleh hakim.

Dia mengaku diare dan tak diberi obat oleh dokter. Pernyataan Setya kemudian dibantah oleh jaksa Irene Putri.

20 Desember 2017

Dalam sidang eksepsi, kuasa hukum Setya menilai dakwaan oleh jaksa tidak cermat.

Salah satunya terkait jumlah nilai kerugian negara. Selain itu, kuasa hukum juga mempermasalahkan hilangnya sejumlah nama penerima korupsi e-KTP.

4 Januari 2018

Majelis hakim pengadilan Tindak Pidana Korupsi menolak eksepsi atau keberatan Setya.

Hakim menilai materi dakwaan jaksa terhadap Setya telah memenuhi syarat formil dan materiil.

25 Januari 2018

Dalam sidang agenda pemeriksaan saksi, jaksa menghadirkan Mirwan Amir, mantan anggota DPR dari Partai Demokrat periode 2009-2014.

Dalam kesaksiannya, Mirwan menyebut nama mantan Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) setelah dicecar beberapa pertanyaan oleh pengacara Setya, Firman Wijaya.

Beberapa hari setelah itu, Partai Demokrat melaporkan Firman dengan tuduhan mencemarkan nama baik SBY.

Pengacara Partai Demokrat, Ardy Mbalembout mempermasalahkan pernyataan Firman pasca-sidang kepada awak media.

Dia juga menyebut pertanyaan dan jawaban dari Firman dan Amir dalam persidangan sebagai fitnah.

5 Februari 2018

Sebelum menjalani sidang lanjutan, Setya membuka buku catatannya yang bersampul hitam.

Awak media melihat salah satu halaman di buku itu tertulis nama Nazaruddin dan Edi Baskoro Yudhoyono atau Ibas.

22 Maret 2018

Setya menangis saat memberi keterangan dalam lanjutan sidang.

Sambil terisak dan menundukkan kepala, Setya meminta maaf kepada seluruh rakyat Indonesia atas perbuatannya.

Walau menyesal, Setya tak mengaku melakukan korupsi. Dia mengatakan jabatannya sebagai Ketua DPR saat itu, telah dimanfaatkan para pengusaha untuk memperkaya diri.

Setya pun resmi mengajukan diri sebagai Justice Collaborator (JC) di persidangan.

Dalam pengakuannya, Setya mengatakan ada aliran dana yang diterima oleh politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yakni Puan Maharani dan Pramono Anung.

Masing-masing di antaranya menerima US$ 500 ribu.

29 Maret 2018

Setelah melalui beberapa sidang pemeriksaan saksi yang didatangkan jaksa maupun pengacara Setya, tuntutan kemudian dibacakan.

Jaksa menuntut Setya dengan hukuman 16 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider enam bulan kurungan.

Dalam kasus ini, Setya dinilai menguntungkan diri sendiri dengan menerima aliran dana sebesar US$ 7,3 juta dan jam tangan Richard Mille senilai US$ 135 ribu dolar.

Dalam sidang itu, KPK juga menolak permohonan JC Setya. Jaksa menilai Setya belum memenuhi kualifikasi sebagai JC.

13 April 2018

Setya Novanto membacakan nota pembelaan. Dalam pleidoinya, Setya membantah tuduhan jaksa.

Dia bahkan menyebut mantan Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi punya peran lebih besar dalam penganggaran proyek bernilai Rp 5,8 triliun itu.

Di ujung pleidoinya, Setya membacakan puisi Di Kolong Meja karya penyair Linda Djalil. (*)

Follow Tribun Pontianak on Twitter:

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved