Editorial
Nyanyian Novanto Sengat Elite PDIP
keterangan Setnov yang hanya menyebut nama baru belum bisa menjadikannya sebagai justice collaborator.
Penulis: Rizki Kurnia | Editor: Rizki Kurnia
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID - Persidangan kasus korupsi pengadaan e-KTP dengan terdakwa mantan Ketua DPR Setya Novanto kini memasuki babak baru.
Mantan Ketua Umum Partai Golkar itu kembali menghebohkan pusaran megakorupsi proyek e-KTP.
Kali ini Novanto memulai 'nyanyiannya' dengan menyebut 10 nama baru yang tidak masuk dalam dakwaan Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sebagai penerima aliran duit e-KTP.
Baca: Mengharukan! Ini 3 Rencana Ahok untuk Memulai Hidup Baru Jika Keluar dari Penjara
Dia menyebut dua elit PDIP, yaitu Pramono Anung, Puan Maharani menerima aliran dana e-KTP.
Masing-masing menerima US$500 ribu atau setara Rp5 miliar dengan asumsi kurs rupiah sekitar 10.000 per dolar AS, sesuai periode aliran dana.
Disebutkan oleh Setnov dalam sidang di Pengadikan Tipikor Jakarta, Kamis (22/3), ketika itu Puan menjabat Ketua Fraksi PDI Perjuangan dan Pramono Anung merupakan Wakil Ketua DPR RI dari fraksi PDI-P.
Dari seluruh keterangan Novanto itu, total ada 10 nama yang merupakan anggota DPR periode 2009-2014 disebut ikut menerima.
Mereka adalah Puan Maharani, Pramono Anung, Ganjar Pranowo, Olly Dondokambe, Arif Wibowo, Tamsil Linrung, Mirwan Amir, Jafar Hafsah, Melchias Markus Mekeng dan Chairuman Harahap.
Baca: Video Mesum di Sambas Terungkap! Pengakuan Pemeran Wanita Bikin Geleng Kepala
Mereka masing-masing menerima AS$500 ribu, kecuali Ganjar yang jatahnya menurut Novanto telah dipangkas lebih dulu oleh Chairuman.
Namun Setnov menyatakan tak tahu menahu peran Pramono dan Puan dalam proyek e-KTP.
Ia mengaku bukan dirinya yang memberikan uang itu, tetapi diberikan oleh Made Oka Masagung yang dalam persidangan disebut sebagai pengelola uang Novanto.
Oka menyampaikan hal itu saat mereka bertemu bersama dengan Irvanto, keponakan Novanto sekitar akhir 2012 lalu.
Memang tidak semua kesaksian di pengadilan menyatakan kebenaran kendati pengucapnya berada di bawah sumpah. Apalagi bila tudingan didasarkan pada ucapan orang lain kepada dirinya.
Meski demikian, kesaksian di pengadilan juga tak bisa diabaikan sebagai petunjuk penyidikan walaupun yang dituding membantah.
Disebut-sebutnya sejumlah nama politisi PDIP yakni Puan Maharani, Pramono Anung membuat PDIP "gerah".
Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto membantah jika dua elit politiknya menerima aliran uang e-KTP.
Menurut Hasto, posisi politik PDI Perjuangan (PDIP) selama 10 tahun pemerintahan SBY saat itu berada di luar pemerintahan.
Baca: DPRD Sambas Janji Berikan Perlindungan Kepada Korban Persekusi
Hasto curiga kecenderungan terdakwa dalam kasus tipikor menyebut sebanyak mungkin nama, berkaitan dengan upayanya mendapatkan status sebagai Justice Collaborator (JC), demi meringankan hukumannya.
Namun perilaku Novanto dinilai hakim kontradiktif dengan upayanya mengajukan status sebagai justice collaborator.
Sebab menjadi kolaborator penyidik atau jaksa berarti mengakui dirinya juga pelaku.
Sementara Novanto yang sudah duduk di kursi terdakwa saja masih terus berkukuh tidak ikut menerima aliran dana korupsi e-KTP.
Selain itu, Novanto tidak menyebutkan nama-nama orang yang terlibat dalam dakwaannya yang diduga turut menerima uang proyek e-KTP.
Tapi justru menyebut nama-nama orang yang tidak ada dalam dakwaan.
Mengutip ahli Hukum Pidana dari Universitas Islam Indonesia, Prof Dr Mudzakir, keterangan Setnov yang hanya menyebut segelintir orang dalam dakwaannya menerima dan memunculkan nama baru belum bisa menjadikannya sebagai justice collaborator.
Kalau hanya menyebut nama baru ini dan nama lain tidak disebut berarti seolah-olah dia tidak tahu, padahal banyak yang disebutkan dalam dakwaan.
Kini, dengan bertambahnya nama terduga penerima aliran dana korupsi di sidang kemarin membuat kerja KPK bertambah berat untuk mengusut dan mengungkap semua pihak yang terlibat.
Sekaligus membuktikan skandal korupsi itu bukan fiktif belaka. Jika perlu, panggil semua nama yang disebut ke pengadilan untuk memberikan kesaksian di bawah sumpah.
Mereka tak cukup hanya mengumbar bantahan di luar persidangan dengan dalih merasa difitnah.
Harapannya tentu jangan sampai pengadilan berubah menjadi forum pencemaran nama baik dan fitnah.
Hanya menyebut nama, bahkan sampai masuk dakwaan, tapi tidak kunjung diajukan ke pengadilan. (*)