Tribun Eksklusif

Sumbangan SMA/SMK Negeri Tak Lagi Gratis, Pihak Sekolah Lakukan Ini

Sekarang sudah tidak ada sehingga berdasarkan surat edaran gubernur diperbolehkan memungut biaya namun hanya dana partisipasi, dana komite.

Editor: Marlen Sitinjak
KOLASE/TRIBUNPONTIANAK.CO.ID

TRIBUNPONTIANAK.CO.ID, PONTIANAK - Sejak Undang-undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah diberlakukan, mulai 2017 pengelolaan dan kewenangan pendidikan sekolah tingkat SMA dan SMK di Pemerintah Kabupaten dan Kota, diambil alih oleh Pemerintah Provinsi.

Kondisi ini memunculkan kewajiban baru bagi pelajar, di antaranya harus membayar Sumbangan Komite Sekolah atau yang dikenal juga dengan sumbangan partisipasi.

Sumbangan ini sifatnya partisipatif dan berdasarkan surat edaran gubernur.

Seperti pada SMAN 2 Pontianak, Wakil Kepala Sekolah, Agus Pramono, mengatakan pihak sekolah terpaksa menerapkan sumbangan ini untuk membayar pelatih ekskul serta guru tidak tetap.

(Baca: Mulai Sekarang Jangan Berfoto di Masjidil Haram & Masjid Nabawi, Bandel? Tahu Sendiri Akibatnya )

Sumbangan partisipatif ini ditentukan berdasarkan rapat bersama orangtua.

Kisaran sumbangan ini berbeda-beda tiap kelas.

Untuk kelas satu sumbagannya minimal Rp 70.000, yang mampu Rp 150.000

"Ini ditentukan berdasarkan kesepakatan, yang mampu silakan, yang tidak mampu tidak ditentukan, sukarela saja," ujarnya, Selasa (21/11/2017).

Dia mengatakan tiap sekolah menentukan sumbangan komite sekolah beda-beda, tidak sama.

Dulu sekolah terbantu karena ada Bantuan Operasional Sekolah Daerah (Bosda).

Sekarang sudah tidak ada sehingga berdasarkan surat edaran gubernur diperbolehkan memungut biaya namun hanya dana partisipasi, dana komite.

"Ini juga sedang dicarikan solusinya oleh provinsi, realisasinya belum ada," katanya.

Dia membeberkan, beberapa siswa merasa keberatan dengan adanya kewajiban sumbangan partisipasi ini.

(Baca: Ternyata Ini Masalah yang Bikin Georgia Aisyah Tak Bisa Meneruskan Hidup Bersama Aldi Taher )

Karena itulah untuk siswa kurang mampu tidak dimintai sumbangan sama sekali, namun yang bersangkutan harus melampirkan KIP atau hanya membayar Rp 50.000.

"Sebanyak 25 persen murid kita tidak ikut menyumbang, mereka bayar gratis karena memang tidak mampu," tambahnya.

Setelah kewenangan SMA/SMK jatuh pada provinsi, murid kurang mampu tidak lagi mendapat bantuan.

Karena itulah dia mengatakan pihak sekolah harus mencari beasiswa sendiri untuk anak-anak yang kurang mampu.

"Untuk yang kurang mampu kita carikan bantuan ke Pelindo, cari beasiswa untuk menutupi. Karena belum ada bantuan, dari pihak sekolah mencari solisi dengan sepengetahuan provinsi," paparnya.

Meski sudah ditentukan berdasarkan kesepakatan dan ditandatangani di atas materai, dia mengatakan tetap ada murid yang menunggak.

Untuk siswa yang tidak mampu membayar akan ditelusuri pihak sekolah apa penyebabnya.

Jika memang karena tidak mampu maka tidak dipaksakan.

Dengan keadaan seperti ini dia berharap bantuan Bosda ada lagi, sehingga tidak membebani orangtua yang kurang mampu dan sekolah harus menangih-nagih.

"Kemarin tidak perlu meminta sumbangan pada orangtua, ada bantuan langsung diberikan ke rekening sekolah. Dulu anak-anak tinggak belajar dan guru tinggal ngajar. Sekarang ya beginilah," pungkasnya.

Hal yang sama diungkapkan oleh Kepala SMAN 3 Pontianak, Wartono. Pihaknya harus memungut sumbangan komite sekolah karena sudah tidak ada bantuan lagi.

"Memang ada Pergub-nya, dibolehkan karena masih ada pembiayaan yang tidak ditanggung oleh dana BOS pusat akhirnya dibebankan pada orangtua," ujarnya.

Besaran sumbangan ini variatif karena, sifatnya sukarela, tidak memaksakan bagi anak-anak ekonomi lemah yang mempunyai KIP.

Ada yang digratiskan, ada yang hanya membayar Rp 25.000, Rp 40.000, Rp 50.000 hingga jangkauan Rp 100 ribu.

"Walaupun ada yang Rp 200.000 atau Rp 500.000, itu sesuai kemampuan orangtua," paparnya.

Di SMAN 3 rata-rata siswa membayar Rp 100.000 dan untuk yang keberatan karena kurang mampu maka dibebaskan asalkan memang memiliki KIP.

Untuk bantuan pada anak-anak saat ini hanya melalui program Indonesia Pintar, yaitu bantuan dari pusat yang berbentuk beasiswa.

Dia menuturkan meski banyak yang pro dan kontra, saat ini pihak sekolah telah berusaha menekan biaya serendah-rendahnya untuk sumbangan ini.

Sumbangan Komite Sekolah juga diberlakukan di Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) di Pontianak.

"Penarikan uang SPP di sekolah kami mulai berlaku sejak Juli 2017, saat memasuki tahun ajaran 2017/2018," ujar Kepala SMKN 5 Pontianak, Urai Muhani, Rabu (22/11/2017).

Urai mengatakan, sebetulnya sekolah-sekolah menengah atas dan kejuruan negeri sudah berada di bawah kewenangan Pemerintah Provinsi sejak Januari 2017, namun penarikan uang SPP itu baru mulai diberlakukan pada Juli 2017.

"Selama 6 bulan masa transisi itu uang SPP siswa rencananya dibiayai oleh Pemkot Pontianak, dan hanya mengandalkan BOS pusat semata sedangkan proses belajar-mengajar di sekolah terus berjalan," jelasnya. (*)

Selengkapnya Baca di Cetak Tribun Pontianak Edisi Jumat 24 - 11 - 2017

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved