Stop Diskriminasi Industri Minyak Sawit
Industri minyak sawit merupakan salah satu penyumbang devisa terbesar kepada negara dengan nilai Rp 250 triliun setiap tahunnya.
Penulis: Ahmad Suroso | Editor: Rizky Zulham
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID - Industri minyak sawit merupakan industri strategis dalam perekonomian Indonesia baik saat ini maupun masa depan.
Strategis, karena kontribusi industri minyak sawit cukup besar baik dalam skala ekspor non-migas, penciptaan kesempatan kerja, pembangunan daerah pedesaan dan pengurangan kemiskinan.
Mengutip Menteri Perindustrian Airlangga Hartato (Februari 2017), secara keseluruhan, diperkirakan sekitar 16-20 juta orang mengandalkan penghidupan dari bisnis kelapa sawit hulu-hilir yang tersebar di 190 kabupaten di Indonesia.
Industri minyak sawit merupakan salah satu penyumbang devisa terbesar kepada negara dengan nilai Rp 250 triliun setiap tahunnya.
Sayangnya, kampanye negatif terhadap industri minyak sawit yang berlangsung sejak Indonesia mulai mengembangkan pola Perkebunan Inti Rakyat Kepala Sawit di awal tahun 1980-an sampai kini masih terjadi.
(Baca: Ratusan Petani Sawit Kembali Datangi PN Sanggau )
Bahkan telah melebar pada aspek ekonomi, sosial dan lingkungan khususnya terkait dengan perhatian masyarakat global.
Skenario-skenario baru dibangun untuk menghentikan pertumbuhan bahkan menghancurkan industri minyak sawit.
Strategi kampanye yang ditempuh juga kian terstruktur, sistematis dan massif.
Karena itu, diperlukan edukasi kepada publik untuk mengoreksi pandangan-pandangan yang telanjur keliru di masyarakat tentang industri minyak sawit.
Langkah Presiden Joko Widodo mengangkat isu kelapa sawit dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Peringatan 40 Tahun Kerja Sama Kemitraan ASEAN-Uni Eropa yang digelardi Manila, Filipina, Selasa (14/11/2017) sudah tepat.
(Baca: Jadi Keharusan, Pemkab Kucur 25 Juta Per Hektare Untuk Replanting Kebun Sawit )
Seperti diberitakan Tribun kemarin, Jokowi sengaja mengangkat isu kelapa sawit karena sangat dekat dengan upaya pengentasan kemiskinan, mempersempit gap pembangunan, serta pembangunan ekonomi yang inklusif.
Apalagi saat ini, kata Jokowi, terdapat 17 juta orang Indonesia yang hidupnya, baik langsung maupun tidak langsung, terkait dengan kelapa sawit, di mana 42 persen lahan perkebunan kelapa sawit dimiliki oleh petani kecil.
Karena itu, dalam pidatonya, Presiden Jokowi meminta diskriminasi terhadap kelapa sawit di Uni Eropa segera dihentikan.
Sejumlah sikap dan kebijakan yang dianggap merugikan kepentingan ekonomi dan merusak citra negara produsen sawit juga harus dihilangkan.
Resolusi Parlemen Uni Eropa dan sejumlah negara Eropa mengenai kelapa sawit dan deforestasi serta berbagai kampanye hitam, tidak saja merugikan kepentingan ekonomi, namun juga merusak citra negara produsen sawit.
Presiden mengungkapkan Indonesia paham pentingnya isu sustainability (keberlanjutan)
Oleh karena itu, berbagai kebijakan terkait sustainability telah diambil, termasuk pemberlakuan sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO).
Pernyataan Presiden Jokowi ini juga mendapat dukungan penuh Perdana Menteri Malaysia.
Permintaan Presiden Jokowi agar diskriminasi terhadap kelapa sawit yang gencar di Eropa dihentikan patut kita dukung.
Karena pandangan yang keliru terhadap industri sawit dapat mengancam masa depan industri sawit nasional sebagai salah satu industri strategis dalam perekonomian Indonesia.
Kebijakan pemerintah yang saat ini tengah fokus mendorong seluruh perusahaan sawit untuk mengikuti program sertifikasi ISPO sudah benar.
Sertifikasi ISPO wajib dilakukan agar minyak sawit Indonesia dapat diterima dan memiliki posisi tawar yang tinggi di pasar ekspor, dan pengelolaan perkebunan sawit Indonesia juga dapat dilakukan secara berkelanjutan.
Implementasi kebijakan ini setidaknya bisa menjawab mitos yang dikampanyekan pihak asing bahwa tata kelola pembangunan perkebunan kepala sawit Indonesia tidak berkelanjutan.
Bahwa perkebunan sawit kadang masih memunculkan konflik agraria itu tak bisa dipungkiri.
Tetapi itu hanyalah riak-riak kecil yang bisa diselesaikan secara musyarawah atau melalui jalur hukum yang berlaku.
Di era reformasi sejak tahun 2000 adalah hal yang lumrah jika masyarakat menyampaikan aspirasinya termasuk dalam hal hak-hak agraria yang diyakini bagian dari kehidupannnya. (*)