Dana Desa di Sambas Tak Cair, Ini Solusi yang Ditawarkan
Ada beberapa halangan, seperti galian C dan segala macam itu kan, karena perizinan sudah diurus provinsi.
Penulis: Tito Ramadhani | Editor: Rizky Zulham
Laporan Wartawan Tribun Pontianak, Tito Ramadhani
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID, SAMBAS - Koordinator Program Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa (P3MD), Solikin Abdullah mengungkapkan, ada sejumlah permasalahan yang menghambat hingga menyebabkan Dana Desa tahap kedua terhambat untuk dicairkan.
"Yang pertama itukan, keterlambatan SPJ 2016 yang memang desa tidak ada reward dan punishment. Jadi kebiasaan desa, paradigma mereka sehingga pada tahun 2017 menjadi penghambat saat mau dicairkan tahap kedua, syarat utama oleh Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu) itu kan SPJ lengkap tahun 2016.Oleh karena itu, harus ada reward dan punishment dari pemerintah daerah terhadap desa," ungkapnya, Selasa (7/11/2017).
Lanjut Solikin, memang tidak semua desa di Kabupaten Sambas yang berjumlah 193 desa yang mengalami hambatan.
"Hanya ada beberapa desa yang memang begitu (terhambat). Jadi kan tidak mungkin dianggap keseluruhan, saya sepakat dengan apa yang disampaikan Pak Camat, ada memang desa-desa yang nakal tapi tidak semuanya," ujarnya.
Kemudian adalah percepatan, karena disalurkannya ke desa itu pada September, tentunya realisasinya menjadi terlambat.
"Ada beberapa halangan, seperti galian C dan segala macam itu kan, karena perizinan sudah diurus provinsi. Nah disaat mereka membuat SPJ, mereka terbiasa dengan paradigma lama. SPJ gampang, yang penting terealisasi, sehingga lambat lagi untuk di tahap satu tahun anggaran 2017," jelasnya.
Solikin menerangkan, pihaknya memberikan tawaran solusi. Berdasarkan Permenkeu No 112 yang terkait Dana Desa, jika menurut progres yang sesungguhnya dari data yang pihaknya himpun dari para pendamping di desa dan kecamatan, itu sampai dengan hari ini sudah 80 persen terealisasi DD.
"Tetapi yang masuk di OM SPAN (aplikasi Online Monitoring SPAN) itu baru 54 persen. Artinya kalau menurut Permenkeu No 112 atau Permenkeu No 50, itu kan 75 persen syarat minimalnya sudah terlewati sesungguhnya di lapangan. Permasalahannya kan entri data di OM SPAN yang secara online itu," terangnya.
Solusi yang pihaknya tawarkan adalah, bagi desa ada sebuah komitmen yang pihaknya mau bangun dengan desa dan kecamatan, bahwa yang penting data mereka sudah lengkap dan sudah valid, tidak turun naik lagi angkanya.
"Kami validasi angka mereka realisasi pencapaian DD yang terserap di desa, kemudian itu di entri melalui OM SPAN. Begitu sudah masuk dana dari RKUN ke RKUD, kecamatan tidak boleh toleransi lagi, di saat desa ingin mengajukan pencairan masuk ke rekening desa, kuncinya harus SPJ lengkap, supaya apa yang terjadi di tahun 2016 tidak terulang di tahun 2017, sehingga akan teratasi. Jadi, kalau misalnya kita menggunakan data yang sudah ada yang kami himpun itu sekitar 80 persen, kalau ter-entri semuanya, kan ada 9 kecamatan sampai dengan saat ini belum meng-entri di OM SPAN, kan itu persoalannya," paparnya.
Sehingga jika data-data tersebut di entri, tercapai persyaratan minimal 75 persen, maka RKUN bisa setor ke RKUD. Begitu RKUD mau setor ke rekening desa, kecamatan harus mengunci rekomendasinya, tidak boleh disalurkan ke desa sampai dengan menerima SPJ semester 1 dalam kondisi lengkap.
"Kalau DD tahap kedua ini tidak terserap, jika misalnya Bupati tidak menyampaikan laporan serapan minimal 75 persen, maka dana itu menjadi sisa di RKUN, sehingga kan 40 persen tahap kedua tidak tersalur, otomatis menjadi sisa SiLPA di rekening pusat, sehingga desa menjadi korban keseluruhan," ujarnya.
Oleh karena itu, percepatan yang mau pihaknya bangun ini, jika memang semua itu sudah terpenuhi, maka juga akan mengakomodir desa-desa yang cepat.
"Kan banyak, dari 193 desa mungkin hanya sekitar 10 persen yang lambat, nah itu punishment. Tatkala mereka tak pernah melengkapi SPJ semester 1, sudah lebih baik tidak disalurkan dan menjadi SiLPA di daerah," jelasnya.