Kisah Dibalik Kokohnya Solangke Semangkok Hingga Kearifan Lokal Masyarakat Dayak Taman
Saat ini rumah betang Semangkok memiliki 15 bilik,satu bilik ditempati oleh empat kepala keluarga.
Penulis: Anesh Viduka | Editor: Dhita Mutiasari
Laporan Wartawan Tribun Pontianak, Anesh Viduka
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID,KAPUAS HULU-Tak hanya berkisah tentang nilai budaya yang ada didalamnya, Solangke (rumah betang) Semangkok menyimpan sejarah panjang dibalik tiang-tiangnya yang kokoh.
Siang itu, seorang pria berusia 37 tahun menyambut kedatangan kami di ujung tangga setinggi 8 meter di sebuah lanting (sejenis dermaga) ditepian Das (daerah aliran sungai) Mendalam, Ia adalah Faustinus Suka Ranglut, Juru Pelihara rumah betang Semangkok.
"Selamat datang di Semangkok,"Kata Pak Ranglut sambil menyalami kami satu persatu.
(Baca: Menikmati Pesona Tersembunyi di Batas Negeri, Taman Nasional Betung Kerihun Danau Sentarum )
Kami di ajak masuk ke dalam rumah betang dengan menaiki anak tangga setingi 6 meter, didalam rumah betang tampak sejumlah warga lanjut usia sedang duduk bersantai sembari mengawasi anak cucunya bermain di sepanjang takso (aula rumah betang).
Berbagai jenis sarungk (topi khas masyarakat dayak yang dipakai ke ladang) yang dianyam dari daun biruk dan tangen (tempat untuk membawa barang yang dianyam dari rotan) beserta aksosoris dari manik-manik tampak tersusun rapi disudut-sudut dinding yang terbuat dari kayu meranti itu.
(Baca: 3 Fakta Sejarah Transformasi Gedung Pancasila jadi Gedung Bank Kalbar )
"Kalau siang gini ndak ada orang, semua ke ladang, paling orang-orang tua sama anak-anak kecil aja yang tinggal,"ujar nya.
Rumah betang (Solangke) Semangkok merupakan satu-satunya rumah betang tertua yang ada disepanjang Das Mendalam,yang berlokasi di muara sungai Semangkok,dusun Sinsiung Amas, desa Ariung Mendalam, kecamatan Putusibau Utara, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat.
Selain itu juga merupakan daerah penyangga kawasan Taman Nasional Betung Kerihun dan Danau Sentarum.
Untuk sampai ke sini ada dua jalur, yaitu menggunakan jalur sungai dan jalur darat.
"Kalau dari jalur sungai perjalanannya dari Putussibau sekitar 30 menit menggunakan longboat 40pk, kemudian jalur darat sekitar 15 menit lah, tapi harus nyeberang pakai motor penyeberangan, karena di sungai Sibau belum ada jembatannya," kata pak Ranglut.
Rumah betang setinggi 7 meter dari tanah ini berukuran panjang 60 meter dan lebar 14 meter yang dihuni oleh masyarakat dayak Taman.
Saat ini rumah betang Semangkok memiliki 15 bilik, satu bilik ditempati oleh empat kepala keluarga.
"Kalau hari-hari biasa mereka tinggal di rumahnya masing-masing di dusun Sinsiung Amas, kalau pas ada acara baru balik ke biliknya masing-masing, tapi sehari-hari setiap bilik ada penghuninya," jelas Pak Ranglut.
Rumah betang ini pertama didirikan pada tahun 1914 oleh seorang tokoh masyarakat yang saat itu disebut sebagai kepala kampung yang bernama Kakek Gunung, kemudian pada tahun 1928, rumah betang ini di resmikan secara adat dayak Taman.
Dan pada tahun 1992,dari dinas provinsi Kalimantan Barat melihat bahwa rumah betang ini dengan keadaan yang sudah cukup tua maka dijadikan sebagai benda cagar budaya.
Kemudian ditunjuk seorang tetua sebagai juru pelihara, yaitu bapak Honorius Sane Suka, juru pelihara pertama rumah betang Semangkok yang merupakan ayah kandung dari pak Ranglut.
Sebagai benda cagar budaya, rumah betang Semangkok memiliki sejarah panjang di Das Mendalam, sebelum di muara sungai Semangkok, rumah betang ini awalnya berada di uncak sungai Mendalam yang namanya rumah betang Sinsiung Amas.
Nama Sinsiung Amas diambil dari nama seorang tokoh masyarakat kala itu, yaitu pendiri rumah betang pertama di das Mendalam, dan sekarang dijadikan sebagai nama dusun, yaitu dusun Sinsiung Amas, desa Datah Dian, rumah betang pertama ini didirikan sekitar tahun 1600an di uncak sungai mendalam.
Kemudian beberapa ratus tahun kemudian pindah lagi ke rumah betang kedua dengan jumlah bilik 160 bilik, yang sekarang jadi desa Datah Dian.
"Kemudian pindah kesini (Muara sungai Semangkok), tapi selama tiga kali pindah itu, tiang-tiang rumah betang itu dibawa, mungkin kita bisa melihat yang tempat ini adalah lantai pertamanya," kata pak Ranglut sambil menunjuk bekas lubang di sebuah tiang kayu ulin sebesar 60 Cm.
Bekas lubang di tiang itu merupakan bekas lantai pertama saat dirumah betang yang dulu, yaitu berjarak sekitar 10 meter dari tanah, kemudian bekas lantai rumah betang kedua berjarak sekitar 8 meter dari tanah.
"Jadi tiang rumah betang yang pertama itu pas di pindahkan di bawa pindah dijadikan tiang rumah betang semangkok,tapi tiangnya tidak setinggi yang pertama dulu, karena pas pindah tiangnya kita tebang, karena ndak mampu dicabut, Jadi tiang yang dipakai di rumah betang semangkok ini merupakan tiang rumah betang pertama yang didirikan di uncak sungai Mendalam pada tahun 19600an, dulu tingginya,menurut cerita orangtua zaman dulu,kalau kapas dijatuhkan dari lantai rumah betang itu terbangnya sampai ke seberang sungai,” jelas Ranglut.
Lanjut pak Ranglut, alasan pindah-pindah itu karena di das Mendalam ini ada suku dayak taman, kemudian di daerah sibau ada juga dayak Taman.
"Aliran Kapuas juga ada dayak Taman, jadi orang tua zaman dulu itu mempunyai keinginan menelusuri sungai mendalam agar dekat dengan suku taman yang ada di Kapuas hulu,"jelasnya.
Ditengah pesatnya kemajuan zaman, kearifan lokal masyarakat dayak Taman masih tetap terjaga, beragam upacara adat masih dilakukan, seperti upacara adat pernikahan, upacara adat untuk warga yang meninggal.
Upacara adat terbesar dayak Taman adalah upacara adat mamandung, yaitu upacara adat berupa mempersembahkan hewan kurban sebagai bentuk penghormatan anak cucunya kepada leluhur yang sudah meninggal.
"Mamandung ini untuk mengenang orang yang meninggal, kalau di Semangkok ini orang yang meninggal tidak langsung di kubur dalam tanah, peti matinya disimpan dulu di dalam Kulambo (rumah mayat), jadi pada saat keluarga itu ada kemampuan buat upacara adat, peti mati itu diturunkan (dikubur), nah pada saat diturunkan itu lah yang harus melaksanakan upacara adat mamandung,"jelas Ranglut.
"Sedangkan untuk hewan yang dikurbankan itu tergantung kemampuan dari yang punya acara, kalau mampu sapi ya sapi, kalau mampu kerbau ya kerbau, nanti hewan kurbannya itu di kandang, kemudian kita panggil kerabat kita atau perwakilan dari tamu untuk memotong kurban tersebut dengan cara ditombak didalam kandang,nanti daging kurbannya ini kita makan beramai-ramai," Jelasnya.
Acara mamandung dilaksanakan selama 3 hari 3 malam, Mandung tidak diwajibkan,tergantung dari kemampuan ekonomi keluarga yang akan melaksanakan gawai mandung, kusus di rumah betang Semangkok, upacara Mamandung terakhir dilaksanakan pada pada tahun 1998.
"Disini kalau pesta yang terlalu ramai agak jarang kita lakukan,karena pendapatan orang kampung sini agak susah untuk melaksanakan acara besar, paling acara perkawinan dan upacara adat untuk warga yang meninggal dunia, kalau gawai habis panen itu tidak terlalu dimeriahkan," Katanya.
Uniknya, di betang Semangkok, masyarakat Taman yang meninggal dunia tidak dikubur melainkan jenazahnya yang sudah dimasukan kedalam peti di simpan di Kulambo (rumah mayat).
"Sampai saat ini setiap orang Taman yang meninggal masih dilakukan seperti itu tapi tergantung permintaan keluarganya, kalau keluarga minta dikubur ya kita kubur, tapi pada dasarnya memang harus di simpan di Kulambo, ini bertujuan agar anak cucunya yang belum pernah melihat dia semasa hidup bisa melihat nenek moyangnya walaupun hanya peti mati dan itu mungkin bisa memuaskan hati anak cucu yang ditinggalkan," Jelas Ranglut.
Tak hanya itu, di masyarakat taman, kususnya di rumah Betang Semangkok, masih mempercayai tanda-tanda dari alam, misalkan kalau mau bepergian, masyarakat Taman harus mendengar tanda-tanda dari suara burung Antis dan burung Murai Batu.
"Kalau mau turun ke ladang harus dengar dulu, suara burung antisnya seperti apa, dari situ bisa menjadi tanda bagi kami bahwa kami udah boleh ke ladang atau tidak, kemudian tanda dari suara burung Murai Batu, suaranya bisa memberi tanda bahwa kita tidak boleh bepergian,makanya masyarakat Dayak Taman dilarang membunuh burung Murai Batu," Katanya.
Saat ini, di desa Ariung Medalam terdapat ada tiga rumah betang, namun rumah betang Semangkok adalah rumah betang tertua yang memiliki sejarah panjang.