Lampit Budaya Lokal yang Kian Ditinggal Seiring Kemajuan Zaman

Tak hanya cantik, namun anyaman lampit memiliki keunikan. Keunikannya karena anyaman sangat rapi dan tahan lama yang mungkin tidak dipunyai...

Penulis: Mirna Tribun | Editor: Mirna Tribun
IST
Sendal rotan 

Citizen Reporter 

Petrus Kanisius, Yayasan Palung 

TRIBUNPONTIANAK.CO.ID -  Tak hanya cantik, namun anyaman lampit memiliki keunikan. Keunikannya karena anyaman sangat rapi dan tahan lama yang mungkin tidak dipunyai oleh semua wilayah lainnya.

Rautan demi rautan dari jangat (menghaluskan dan merapikan) setiap sisi rotan terlihat, ketika seorang bapak kira-kira separuh baya meracik bilah demi bilah rotan dibelah, diolah dan dianyam untuk dijadikan kreasi anyaman tikar cantik bernama lampit. Semua kiri kanan sisi anyaman terlihat sangat rapi. Namun kini, anyaman lokal warisan leluhur bernama lampit itu kian ditinggal seiring kemajuan jaman.

Waktu yang dibutuhkan untuk satu anyaman lampit diperlukan hingga sepekan lamanya. Jika cepat, tiga hari lampit dapat selesai proses penganyamannya. Anyaman lampit merupakan budaya lokal anyaman tikar yang terbuat dari rotan. Anyaman cantik ini menjadi salah satu nafas masyarakat di Kampung Taji yang kini lebih dikenal Dusun Sempadian, Desa Terusan, Kecamatan Manis Mata, Ketapang, Kalimantan Barat.

Pengrajin anyaman lampit juga ada tersebar di Dusun Purun di Kecamatan yang sama. Di Dusun Purun, tikar purun ukuran dan motifnya kecil-kecil dibandingkan tikar lampit.

Tak hanya cantik, namun anyaman lampit memiliki keunikan. Keunikannya karena anyaman sangat rapi dan tahan lama yang mungkin tidak dipunyai oleh semua wilayah lainnya.

Proses menganyam lampit cukup rumit dan memerlukan keahlian khusus. Bilah-bilah rotan yang dianyam haruslah sama besar ukurannya kira-kira bilah rotan yang dibelah dari anyam ukurannya 2 cm. Kerapian dari rautan melalui jangat sangat diperlukan. Rotan harus ada yang dibuat halus sebagai pengikat (perajut) setiap sisi kanan dan kiri anyaman sebagai pengokoh (penguat) anyaman.

Selain lampit, anyaman lainnya seperti topi, keranjang, sendal, tajau,ringkak, pempinangan, tas rotan, kindai/penangkin, tempat nasi, slipang dan tudung saji merupakan kreasi anyaman lokal yang bisa dikreasikan dari bahan rotan. Tak hanya itu, ada juga intaran (ayakan/pengayak tepung).

Tidak hanya kemajuan zaman (saat ini) yang menjadi kekhawatiran. Kekhawatiran lainnya, anyaman demi anyaman sudah semakin langka. Tidak semua daerah memiliki anyaman lampit. Mengingat juga, pewaris dari pengrajin (penganyam) sudah semakin sedikit bisa menganyam lampit, alasannya generasi muda sudah jarang dan enggan untuk belajar menganyam. Bukan tidak mungkin suatu ketika anyaman lampit tinggal kenangan.

Terhitung dan dapat dikatakan beruntung, di desa itu masih ada bapak Nason (56 tahun), Hatur (55 tahun), Panuh (74 tahun),  Segincin (60 tahun). Keempat pengrajin itulah yang kini masih bisa mewarisi anyaman tikar lampit tersebut. Untuk harganya, satu bidang lampit ukuran 2 meter x 1,5 meter dihargai dengan harga Rp 450 ribu - Rp 500 ribu. Setiap bulannya setidaknya 3 lampit yang bisa mereka anyam.

Sedangkan untuk topi rotan harganya Rp 150 ribu, tas rotan Rp 250 ribu, sandal Rp 80 ribu, keranjang Rp 100 ribu -Rp 150 ribu, tempat nasi harganya Rp 80ribu - Rp 100 ribu.

Menganyam lampit kini menjadi salah satu pilihan mereka saat ini, mengingat sebagian besar masyarakat di sana (Desa Sempadian-red) adalah menggantungkan hidup dari hasil karet namun kini harga karet turun. Mereka memilih menganyam beragam jenis anyaman sebagai salah satu penopang hidup mereka sehari-hari.

Sedangkan beberapa produk anyaman lampit, menurut Guliawan (30 tahun), salah seorang warga desa Sempadian yang mencoba untuk menyalurkan produk-produk dari anyaman lampit ke beberapa tempat seperti ke Kabupaten Ketapang dan Kalimantan Tengah mengatakan anyaman lampit cukup banyak diminati karena salah satunya anyaman lampit sangat rapi, unik, anyamannya bisa tahan lama dan paling nyaman untuk tempat baring santai di depan televisi ataupun untuk tidur malam.

Lebih lanjut, menurut Guli, sapaan sehari-hari bapak dua anak ini dikatakannya anyaman lampit yang ada di desa mereka saat ini sudah semakin ditinggal seiring kemajuan zaman. Salah satu alasannya karena generasi muda tidak banyak lagi yang mau belajar untuk menganyam aneka anyaman tersebut (generasi penerus).

"Mudah-mudahan ada perhatian dari semua pihak untuk anyaman lampit ini sebelum terlambat (anyaman akan hilang karena tidak ada generasi penerusnya)," harapnya.

Saat ini, bagi para pengrajin untuk memperoleh bahan baku seperti rotan masih cukup tersedia di kampung mereka. Namun, salah satu kekhawatiran untuk jangka panjang lima sampai sepuluh tahun yang akan datang persediaan bahan baku rotan diperkirakan akan semakin berkurang bahkan diperkirakan habis. Benar saja, kekhawatiran itu sangat beralasan karena di desa tersebut kini telah dikelilingi perkebunan sawit.

Untuk sampai menuju daerah tersebut dari Ketapang ke Kecamatan Mata jarak yang ditempuh sekitar 171 km, dan dari Kec. Manis Mata ke Desa Terusan ditempuh dengan jarak 40-45 km. Berharap, anyaman lampit dan aneka anyaman lainnya bisa tetap ada ditengah kemajuan jaman. Selain itu juga, semoga anyaman lampit tidak tinggal cerita. 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved