Editorial
Waspadai Napi Kasus Terorisme
Bahkan yang lebih mengkhawatirkan, belakangan lapas di Indonesia juga menjadi ajang perekrutan kelompok teroris.
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID - Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) sejatinya adalah tempat penyadaran agar Napi bisa kembali ke masyarakat, namun tidak sedikit yang akhirnya kembali menjadi residivis atau penjahat kambuhan.
Bahkan yang lebih mengkhawatirkan, belakangan lapas di Indonesia juga menjadi ajang perekrutan kelompok teroris. Menjadi tempat paling empuk untuk merekrut jaringan gerakan separatis Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).
Seperti disampaikan pengamat terorisme Ridlwan Habib saat menyambangi Tribunnews.com di kawasan Palmerah, Jakarta, Senin (23/3/2015) malam, dan Juru Bicara Badan Nasional Penanggulangan Teror Firman Idris belum lama ini bahwa ada anggota ISIS Maman Abdurahman yang berada di penjara batu Nusakambangan terdeteksi tetap merekrut anggota. Maman merekrut dan mengajarkan pemahamannya lewat media sosial.
Tampaknya, kerasnya kehidupan di dalam lapas memaksa para narapidana berkelompok atau membentuk geng. Para narapidana yang lemah, bergabung ke geng untuk mendapat perlindungan. Namun menurut Ridlwan para napi terorisme di Lapas Cipinang, Jakarta Timur, tidak bergabung ke kelompok yang sudah ada.
Mereka membentuk kelompok sendiri. Mereka membeli beras dan memasaknya sendiri, dan mempunyai musala sendiri. Pada beberapa kasus, kelompok narapidana terorisme ini mampu mengalahkan geng-geng yang sudah lebih lama hidup di lapas. Alhasil, mereka mendapat simpati dan dianggap bisa memberi perlindungan. Kemudian terdoktrin dan pada saat keluar lapas, dia direkrut masuk ISIS.
Bahkan di Lapas Nusa Kambangan yang super maximum security, ada ustaz radikal Maman Abdurrahman yang dipidana karena merakit bom, juga melakukan hal yang sama. Ketatnya penjagaan lapas di Nusakambangan, tak menghalangi aksi ustaz tersebut untuk merekrut pengikut. Ada 20 orang narapidana yang berhasil didoktrin ustaz tersebut.
Mengingat realitas tersebut, tampaknya sistem pemidanaan terhadap para napi terorisme perlu diperbaiki. Sebab, kalau penanganan mereka hanya ditangkap, kemudian dicebloskan ke penjara namun sistem masih seperti itu, justru dikhawatirkan penjara menjadi lahan yang paling empuk melakukan perekrutan.
Strategi deradikalisasi yang selama ini dijalankan perlu dievaluasi karena terbukti masih memiliki kelemahan. Kewaspadaan terhadap para napi teroris perlu lebih diperketat lagi. Di lapas perlu ada pemisahan antara narapidana kasus terorisme dan yang nonterorisme.
Hal tersebut perlu dilakukan untuk mencegah perekrutan anggota kelompok radikal di dalam lapas.
Kita mendukung langkah Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), sebagaimana disampaikan Ketua BNPT Irjen Saud Usman di Jakarta, Rabu (1/4/2015) yang mengaku secara rutin berkunjung ke lembaga-lembaga pemasyarakatan yang menampung narapidana kasus terorisme. Kunjungan itu untuk memberikan pembinaan sekaligus memonitor para narapidana terorisme.
Dari kunjungan itulah, pihak BNPT menerima masukan dari kalangan sipir dan penghuni, napi mana yang masih radikal dan mana yang sudah tertib. Selanjutnya kepada narapidana yang sangat radikal, dilakukan pendekatan di antaranya lewat diskusi dan dialog. Supaya mereka paham dan bisa merubah mindset. Mereka saudara kita juga, sehingga harus diberikan pemahamaan supaya patuh dan sadar.
Kita juga mengapresiasi BNPT yang tengah merancang program deradikalisasi skala nasional. Rancangan itu didasarkan atas penelitian terhadap sejumlah kasus teror yang pernah ada. Inti cetak biru itu adalah memotong mata rantai penyebaran gerakan radikal lewat simpul-simpul gerakan.
Gerakan itu menyasar dunia pendidikan anak-anak. Intinya melakukan reformasi metode pengajaran agama, melalui kementerian terkait, supaya kita tidak lagi dicap pengekspor teroris.
Seperti dikutip mantan Kepala BNPT, Irjen (Purn) Ansyaad Mbai di Jakarta, Rabu (2/4/2015), bahwa pejabat pemerintahan di Irak pernah bertanya kepada dubes Indonesia untuk negara tersebut. Pertanyaannya adalah, mengapa Indonesia sebagai negara Islam terbesar tega mengirim orang ke konflik Timur Tengah dan membunuh saudaranya sendiri sesama Islam.