Editorial
Stop Kekerasan di Sekolah
Bahkan para guru dan kepala sekolah tidak peka bahwa anak-anak manis yang dihadapinya di kelas ternyata berperilaku garang selepas dari hadapan guruny
Penulis: Ahmad Suroso | Editor: Jamadin
KEKERASAN yang dilakukan oleh siswa senior terhadap adik-adik kelasnya di sekolah menengah masih saja terus berlangsung. Seperti dialami tiga siswa SMA Taruna Bumi Khatulistiwa, Kubu Raya, yang diduga mendapatkan penganiayaan seniornya. Mereka dengan didampingi orangtua dan walinya melaporkan kasus kekerasan tersebut ke Polda Kalbar, Senin (3/11) siang.
Dua siswa kelas X CA (15) dan PL (15) mengalami pecah gendang telinga sebelah kiri. Sedangkan satu lagi teman seangkatannya, AL (15) hanya luka memar wajah. Kasus penganiayaannya sendiri berlangsung Kamis (30/10) lalu saat makan malam di asrama.
Gara-garanya sepele, saat makan malam bersama, CA bersama PL dan AL, dan satu rekannya menuju ruang makan. Namun setibanya di situ tidak dapat tempat karena sudah penuh. Oleh seniornya yang berinisial IS mereka disuruh duduk di satu meja kosong. Namun ketiganya tak beranjak karena meja itu hanya ada satu bangku.
Usai belajar sekitar pukul 21.30, mereka dipanggil menghadap ke Graha 9 atau asrama kelas 3. Sampai di sana mereka disuruh push up tobat oleh seorang seniornya berinisial IS. Tangan dan kaki dipukul pakai sendal. Kemudian datang ER dan YU menampar muka ketiganya.
Rupanya seniornya tersinggung karena permintaan agar yuniornya duduk tidak diindahkan. Sebelum disuruh pergi sekitar pukul 23.00 beberapa senior lainnya mengancam untuk tidak melaporkan kasus tersebut.
Selang empat hari kemudian ada pertemuan di sekolah dengan orangtua pelaku. Pihak orangtua menginginkan tindakan tegas dari sekolah terhadap terhadap tiga siswa senior yang melakukan kekerasan, yakni dikeluarkan dari sekolah untuk memberikan efek jera. Namun pihak sekolah mengatakan hanya memberikan sanksi dikeluarkan dari asrama, tapi mereka masih bisa mengikuti proses belajar menempuh ujian akhir di sekolah.
Kita prihatin dengan aksi kekerasan siswa senior kepada yunior di SMA Taruna. Ini merupakan indikator lemahnya pengawasan pihak sekolah terhadap perilaku siswanya dan sikap sekolah yang terkesan memandang kecil persoalan tersebut. Tidak segeranya korban melapor juga menunjukkan adanya tradisi buruk di banyak sekolah menengah yang tidak terungkap bahkan cenderung ditutup- tutupi oleh pelaku maupun korban karena di sana ada subkultur solidaritas yang kuat.
Setiap mencuat kekerasan siswa senior terhadap yuniornya di suatu sekolah banyak pihak yang terkaget-kaget seperti tidak pernah mengetahui sebelumnya. Bahkan para guru dan kepala sekolah tidak peka bahwa anak-anak manis yang dihadapinya di kelas ternyata berperilaku garang selepas dari hadapan gurunya.
Satu di antara penyebabnya adalah karena kuatnya subkultur solidaritas. Sangat lazim di antara anak- anak kita, solidaritas adalah persekongkolan untuk menyembunyikan kebusukan. Tawuran antarsekolah pun tak jarang dibangun sebagai bentuk solidaritas korps. Yang bermasalah segelintir oknum siswa, lantas melibatkan mereka yang tidak tahu menahu persoalan. Salah atau benar, pokoknya kawan harus dibela.
Kita khawatir, fenomena kekerasan ini akan terus terjadi jika sanksi yang diberikan kepada pelaku tidak memberikan efek jera. Banyak pihak boleh saja bilang sanksi yang diberikan harus mendidik, tapi juga harus dapat menghentikan aksi pelaku. Siswa yang terbukti melakukan teror dan kekerasan selayaknya dikembalikan ke orangtuanya.
Kehilangan status sebagai siswa menjadi peringatan siswa lain untuk tidak melakukan kekerasan yang sama. Memecat siswa tetaplah mempunyai aspek mendidik. Apalagi jika perilaku siswa telah menjurus kearah kriminal dan membahayakan nyawa orang lain. Seperti dialami Muhammad Fadhil, siswa kelas X SMAN 34 Pondok Labu, Jakarta Selatan, yang disiksa seniornya hingga patah tulang.
Khusus untuk siswa senior SMA Taruna Kubu Raya yang telah mengakibatkan dua yuniornya pecah gendang telinga, bila pihak sekolah tidak sampai memberi sanksi mengeluarkan, sekolah semestinya selain mengeluarkan dari asrama juga harus memberikan pengawasan secara khusus kepada siswa bersangkutan dan memanggil orangtuanya untuk mendidik dan mengawasinya dengan ekstra ketat. (Tribun Cetak)