Editorial
Siap-siap BBM Naik
Kami akan menaikkannnya secepatnya. Sebab, satu hari telat, Rp 1 triliun hilang percuma,
DI TENGAH penyusunan kabinet, Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) memastikan akan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi pada tanggal 31 Oktober 2014. Dengan begitu, harga baru BBM berlaku mulai 1 November. Bila ini benar direalisasikan, jelas ini "kado" pahit dari pemerintah baru pimpinan Jokowi-Kalla.
Sumber harian Kontan yang mengetahui rencana tersebut mengatakan, Jokowi-JK akan menaikkan harga BBM bersubsidi sebesar Rp 3.000 per liter. "Ini seperti rencana semula, naik Rp 3.000 per liter," ujar sumber tersebut, Kamis (23/10/2014). Ini artinya, BBM bersubsidi akan naik 46,1 persen, dari Rp 6.500 menjadi Rp 9.500 per liter. Kenaikan ini akan menghemat anggaran Rp 20 triliun.
Sebelumnya, seperti dilansir majalah Tempo edisi 20-26 Oktober, Jokowi tak menyangkal rencana kenaikan tersebut. Hal itu juga diamini oleh Wapres terpilih Jusuf Kalla yang memberi sinyal bahwa kenaikan harga BBM akan menjadi kebijakan pertama yang diambil . Harus pertama kali, kata Kalla. Kalau tidak, negara bangkrut. Sekolah dan lainnya tidak akan bisa dibangun.
Yang terpenting dari kenaikan harga BBM, sebut Wapres pemerintahan Presiden SBY periode 2004- 2009, anggaran negara tahun ini terselamatkan dari bengkaknya subsidi konsumtif yang 70 persen dinikmati penduduk kaya. "Kami akan menaikkannnya secepatnya. Sebab, satu hari telat, Rp 1 triliun hilang percuma," ujarnya.
Dari penjelasan Wapres Jusuf Kalla tersebut yang mengisyaratkan bahwa pemerintahan Jokowi-JK benar-benar akan tancap gas di awal pemerintahannnya bisa dipahami, mengingat ancaman defisit anggaran sudah di depan mata semakin. Artinya, kita harus siap-siap menerima kebijakan yang tidak populis ini.
Kenaikan harga BBM memang mendesak untuk menjaga defisit anggaran 2,4 persen setara Rp241 triliun yang dipatok Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2014. Undang-undang yang disahkan DPR dan pemerintah era Presiden SBY pada Juni lalu harus dijalankan pemerintah baru hingga akhir tahun ini.
Namun setelah harga BBM dinaikkan, langkah yang tidak kalah penting selain pengalihan subsidi dari konsutif ke produktif harus disiapkan skenario jitu untuk melindungi masyarakat yang paling rentan terkena dampak kenaikan harga BBM bersubsidi. Pemerintah harus memberikan bantuan ke masyarakat miskin.
Menurut sumber Kontan, ada 20 juta keluarga miskin yang akan mendapatkan "guyuran" dana dari pemerintah. Jumlah ini naik dari jumlah orang miskin penerima kompensasi kenaikan harga BBM dua tahun lalu yang hanya 15,5 juta kepala keluarga.
Berkaca pada masa itu, pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan bantuan langsung sementara sebesar Rp 150.000 per bulan per rumah tangga miskin. Dengan kenaikan harga BBM sebesar Rp 2.000 per liter, bantuan berlangsung selama empat bulan kepada 15,5 juta orang. Dengan skema sama, pemerintah baru harus menyediakan dana bantuan sosial Rp 9,3 triliun. Padahal, APBN-P 2014 cuma mengalokasikan dana Rp 5 triliun untuk cadangan sebagai antisipasi kenaikan BBM.
Dengan penerima bantuan lebih besar, dapat dipastikan dana kompensasi harus bertambah. Untuk itu pemerintah Jokowi harus meminta tambahan anggaran baru ke parlemen. Sayangnya langkah ini belum tentu mulus, mengingat kubu oposisi menguasai parlemen.
Di DPR, Koalisi Merah Putih menguasai 353 kursi atau 63 persen suara, sedangkan Jokowi-JK yang didukung Koalisi Indonesia Hebat hanya 207 kursi atau 37 persen. Namun, sebenarnya pemerintahan Joko Widodo juga tidak harus membutuhkan izin dari DPR untuk menaikkan harga BBM.
Karena jika dinaikkan pada bulan November 2014 masih menggunakan APBN 2014. Kecuali jika BBM dinaikkan pada tahun 2015 prosesnya akan panjang karena terganjal di DPR RI akan membuat ribet. Proses politiknya akan lama. Sehingga kalau tidak ingin negara ini bangkrut di awal pemerintahan, maka tak pilihan lain selain menaikkan harga BBM. Ibarat minum pil yang manjur, hanya pahit sesaat, selanjutnya sembuh. (Tribun Cetak)