Editorial

Utamakan Kepentingan Bangsa

Kita tentu saja berharap kedua kubu bersaing secara etis dan sehat.

Penulis: Hasyim Ashari | Editor: Jamadin
Kompas.com
Pimpinan MPR-RI periode jabatan 2014-2019 foto bersama usai pengambilan sumpah Ketua dan Wakil Ketua MPR-RI di Gedung Nusantara, MPR/DPR/DPD-RI, Senayan, Jakarta, Rabu (8/10/2014). Zulkifli Hasan (tengah) terpilih sebagai Ketua MPR. 

MELALUI proses panjang cukup panjang, sidang paripurna penetapan pemimpin Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menetapkan Zulkifli Hasan sebagai ketua. Politisi Partai Amanah Nasional (PAN) ini terpilih menjadi ketua MPR RI melalui pemungutan suara yang dilakukan Rabu (8/10).

Zulkifli masuk dalam usulan paket pimpinan MPR dari Koalisi Merah Putih (KMP) yang memperoleh suara terbanyak. Dari 680 suara, Paket yang diusung KMP mendapatkan 347 suara dan unggul atas paket yang diusung Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dengan perolehan 332 suara dan 1 suara abstain.

Zulkifli Hasan didampingi Wakil Ketua MPR Mahyudin (Golkar), EE Mangindaan (Demokrat), Hidayat Nur Wahid (PKS), dan Oesman Sapta Odang (DPD).

Pemilihan pimpinan MPR kali ini memiliki sejarah buat Kalimantan Barat. Di mana satu di antara putra terbaiknya yaitu Oesman Sapta Odang (OSO) berhasil menjadi wakil ketua. OSO juga sebenarnya diusulkan menjadi ketua MPR oleh paket KMP.

OSO yang merupakan perwakilan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dipasangkan dengan empat Wakil Ketua MPR yang terdiri dari Ahmad Basarah (PDIP), Imam Nachrowi (PKB), Patrice Rio Capella (Nasdem), dan Azrul Azwar (PPP). Namun dalam voting tertutup paket yang diusulkan oleh KIH terjungkal. Namun OSO yang tetap bisa menjadi wakil ketua karena ia diusung KMP.

Bagi OSO ini adalah kali kedua ia menjadi pimpinan di MPR. Sebelumnya saat MPR masih menjadi lembaga tertinggi negara, OSO menjabat wakil ketua pada periode 1999-2004.

Atas proses yang dilakukan sebagai warga negara tentu saja kita menghormati. Pemilihan menggunakan voting tertutup adalah satu di antara cara yang diperbolehkan di negara demokratis. Sistem one person one vote yang tertutup ini memberikan keleluasaan bagi masing-masing anggota MPR untuk menjatuhkan pilihannya kepada dua paket yang diajukan.

Kekalahan paket yang diusung KIH ini merupakan sederet kekalahan partai pengusung presiden terpilih Jokowi-JK di lembaga legislatif. Hashim Djojohadikusumo, yang merupakan adik Prabowo Subianto, bahkan berani seumbar akan melakukan veto terhadap sejumlah posisi dan kewenangan presiden.

Hashim, menyebutkan koalisi ini akan mengajukan kekuatan veto atas 100 posisi yang berada dalam kewenangan presiden, di antaranya kepala Kepolisian Republik Indonesia, Panglima Tentara Nasional Indonesia, para anggota Mahkamah Agung, dan Mahkamah Konstitusi.

Ia menegaskan koalisi yang dibangunnya berpengaruh dalam menentukan siapa yang akan duduk di dalam posisi-posisi tersebut.

Kondisi Jokowi-JK yang memenangkan pemilihan presiden namun kalah di parlemen atau lembaga legislatif kondisinya nyaris sama dengan Presiden Barack Obama. Barack Obama yang diusung Partai Demokrat terpilih menjadi presiden, namun yang menguasai parlemen justru kubu Partai Republik. Kondisi ini sering dimanfaatkan suara mayoritas di parlemen untuk menggajal Barack Obama.

Kondisi serupa bukan tak mungkin terjadi di Republik ini. Kebijakan pemerintah bukan tak mungkin akan selalu berseberangan dengan parlemen. Kondisi ini bisa saja membuat hubungan kedua lembaga ini menjadi buruk.

Kita tentu saja berharap kedua kubu bersaing secara etis dan sehat. Pernyataan Hashim Djojohadikusumo yang menegaskan kubu oposisi tak akan bersifat antagonis patut kita tunggu. Jangan sampai pernyataan itu hanya lips service belaka.

Masyarakat sempat dibuat terkejut oleh KMP yang mengakhiri pemilihan umum kepala daerah langsung menggunakan Undang-undang Pemilihan Umum Kepala Daerah (UU Pilkada). Kini pemilihan kepada daerah tak lagi langsung oleh masyarakat namun oleh anggota DPRD.

Kedudukan MPR yang sangat strategis jangan sampai hanya untuk kepentingan kelompok atau golongan tertentu saja. Satu di antara yang paling strategis tersebut mengatur soal pemberhentian presiden dan wakilnya. Pada Pasal 7A UUD 1945 hasil amandemen ketiga disebutkan Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR.

Setelah hiruk-pikuk saling berebut dan saling sikut untuk memimpin lembaga legislatif, para wakil rakyat hendaknya kembali memikirkan kepentingan Bangsa dan Negara. Bangsa iini perlu dibawa ke arah yang lebih baik agar dihormati dalam pergaulan dengan bangsa-bangsa lain di dunia. (Tribun Cetak)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved