Editorial
Solusi PETI
Untuk apa kejar-kejar penambang, sementara zat kimia berbahaya itu masih mudah didapat.
Penulis: Ahmad Suroso | Editor: Jamadin
TRAGIS. Sedikitnya 18 orang pendulang dan pekerja pertambangan emas tanpa izin (PETI) di Monterado, Kabupaten Bengkayang yang berbatasan dengan Singkawang Selatan tewas tertimbun tanah. Mereka tertimbun saat menggali emas di bekas tambang zirkon, Kelurahan Sagatani, Kecamatan Singkawang Selatan, Sabtu (4/10/2014) siang.
Menurut Lurah Sagatani, Florentina Paroy, lokasi PETI yang menewaskan 18 pekerja di Kelurahan Sagatani, sudah dioperasikan sejak 1987. Penambang tak pernah berhenti melakukan aktivitasnya. Mereka pindah-pindah sampai ke Danau Serantangan. Setelah itu kembali lagi ke tempat semula atau diulangi lagi di tempat sekitar itu karena wilayahnya memang luas.
Ini merupakan musibah PETI dengan jumlah korban terbanyak dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir. Sebelumnya, tiga penambang meninggal dunia akibat tertimbun tanah saat melakukan aktivitas PETI pada Senin (19/5/2014) malam di Dusun Pempadang, Desa Kayuara, Kecamatan Mandor.
Di Provinsi Kalbar, aktivitas PETI berlangsung di hampir semua kabupaten. Sebetulnya, operasi penertiban PETI sudah sering dilakukan, namun sering terjadi perlawanan. Kejadian terakhir 27 Agustus 2014, anggota Reskrim Polres Landak, Brigadir Supriyanto tewas hanyut dibawa arus Sungai Landak, saat mengevakuasi barang bukti aktivitas PETI di Kabupaten Landak. Jenasahnya baru ditemukan tiga hari kemudian.
Pemerintah daerah sebenarnya sudah lama melarang aktivitas PETI. Namun selalu terjadi, kucing- kucingan antara penambang dengan aparat keamanan. Penertiban gencar dilakukan, termasuk dengan menyita mesin dompeng sebagai alat untuk menambang, dan menangkap pelakunya. Namun ini tidak membuat jera para penambang liar tersebut.
Harga emas yang terus naik serta sulitnya masyarakat desa mendapatkan uang, membuat mereka nekat melakukan penambangan liar. Penambang sering memanfaatkan waktu, jika pemerintah sedang semangat-semangatnya melakukan penertiban, mereka sembunyi. Selanjutnya aktivitas PETI akan marak kembali, saat pemerintah dan aparat kendor atau tidak tidak ada di lokasi.
Pemerintah melarang, sebab aktivitas penambangan masyarakat secara ilegal sebenarnya sangat membahayakan diri sendiri dan orang lain. Karena teknologi yang digunakan sangat sederhana dan tidak mempunyai standar pengamanan. Aktivitas PETI telah menimbulkan kerusakan dan dampak lingkungan yang mengancam ekosistem, dan menyebarkan zat kimia mercuri di sungai.
Walhi pernah melakukan penelitian bahwa Sungai Kapuas yang juga menjadi muara Sungai Landak dan Sungai Mandor kelayakannya sudah diambang batas, jadi tidak untuk dikonsumsi. Jika tidak diolah, air Sungai Kapuas hanya layak dijadikan sarana transportasi air.
Penertiban aktivitas PETI memang tidak mudah. Bagi masyarakat serta beberapa LSM lokal menganggap, tambang emas yang ditemukan itu adalah anugerah bersama yang harus dimanfaatkan masyarakat lokal untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Bagi pemerintah lingkungan itu harus dijaga sebagai kawasan konservasi.
Terlepas dari permasalahan di atas, ada beberapa hal yang perlu dicermati. Pertama, langkah penertiban tidak cukup hanya di lokasi PETI, tetapi juga diperlukan pengawasan peredaran mercuri. Apalagi Kalbar sudah memiliki Perda tentang merkuri. Untuk apa kejar-kejar penambang, sementara zat kimia berbahaya itu masih mudah didapat.
Kedua, pemerintah dan aparat terkait harus meningkatkan pengawasan yang ketat dan penegakan hukum yang jelas, agar tak akan ada lagi warga yang berani melakukan penambangan ilegal.
Ketiga, memberi penyuluhan yang rutin terkait dampak PETI terhadap ekosistem yang berujung pada rusaknya alam yang akhirnya merugikan masyarakat.
Selanjutnya, membuat tambang emas legal yang tidak banyak berpengaruh pada pengrusakan alam. Tambang ini nantinya mempekerjakan masyarakat lokal. Sehingga mereka bisa memenuhi keperluan hidup yang semakin hari semakin berat. Ini menjadi tugas pemerintah untuk mengkaji apakah mungkin dibangun tambang emas yang ramah lingkungan, dan bukan sekadar melarang tapi tetap jalan. (Tribun Cetak)