Editorial
Menolak Pilkada Melalui DPRD
Apalagi partai-partai pengusung itu pilkada via DPRD itu dulunya justru yang menentang
Penulis: Ahmad Suroso | Editor: Jamadin
PENOLAKAN terhadap rencana mayoritas fraksi di DPR untuk mengembalikan proses pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota ke tangan DPRD melalui pembahasan RUU Pilkada, yang menurut rencana akan disahkan DPR September ini terus bergulir. Terbaru, para bupati dan walikota yang tergabung dalam Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi), dan Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) menolak tegas.
Kamis (11/9) mereka berkumpul di Jakarta mengadakan rapat kerja luar biasa yang dihadiri 75 perwakilan dari total 549 kabupaten dan kota se Indonesia merumuskan sejumlah rekomendasi untuk Presiden dan DPR, Bahkan sempat berencana turun ke jalan, berdemonstrasi. Kader-kader terbaik parpol itu juga berani berseberangan dengan suara parpolnya demi membela kehendak rakyat.
Langkah berani Wagub DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang memilih mundur dari Gerindra, diikuti oleh Wali Kota Bandung Ridwan Kamil (PKS/Gerindra), Wali Kota Bogor Bima Arya (PAN), Bupati Solok Syamsu Rahim (Golkar), Wali Kota Lampung Herman HN (PAN), tak gentar ancaman pemecatan. Di Kalbar, Wali Kota Awang Ishak, dengan tegas menyatakan mundur dari PAN, partai yang telah mengusungnya di Pilkada Kota Singkawang.
Wali Kota Manado yang juga Ketua DPD Partai Demokrat Sulawesi Utara, GS Vicky Lumentut selaku Ketua Apeksi mengingatkan, pilkada langsung yang dimulai sejak Juni 2005 sejalan dengan semangat desentralisasi. Ia menilai keinginan mayoritas DPR mengembalikan pilkada melalui DPRD merupakan kemunduran pada era reformasi.
Kita melihat pilkada langsung telah mampu melahirkan banyak kepala daerah berkualitas, yang benar-benar membaktikan diri untuk membangun daerah yang dipimpinnya. Pola kepemimpinan mereka yang antitesis terhadap pola kepemimpinan formalistis dan birokratis, terbukti mampu menjadikan daerahnya tidak saja sebagai pusat pertumbuhan baru secara ekonomi, tetapi juga meningkatkan kualitas hidup warganya.
Pilkada langsung yang sudah dipilih selama ini hakekatnya konsekuensi demokrasi, dan itu dilindungi konstitusi. Pilkada langsung juga salah satu pencapaian terbaik era reformasi, setelah selama puluhan tahun dikuasai oligarki. Sebagai elemen penting dalam rangka penghormatan terhadap kedaulatan rakyat, pilkada langsung telah melahirkan sebuah era kompetisi yang sehat dan berkualitas.
Partai politik tak bisa lagi sembarangan mengajukan calon kepala daerah. Mereka dipaksa mengajukan figur-figur terbaik, bahkan jika perlu merekrut figur nonpartai yang kredibel di mata publik. Seperti Bupati Bantaeng, Sulawesi Selatan, Prof Dr Nurdin Abdullah yang terpilih menjadi bupati dua periode. Nurdin yang merupakan bupati terbaik se Indonesia ini pada periode kedua, menang dengan perolehan suara 70 persen tanpa memasang baliho dan alat peraga kampanye lainnya.
Dari catatan sekilas tersebut, rasanya tidak beralasan menghentikan pilkada secara langsung dan menyerahkan wewenang memilih kepala daerah di ruang atau bilik-bilik gelap DPRD seperti era Orde Baru. Alasan yang diajukan oleh fraksi-fraksi pengusul, yakni Demokrat, Golkar, Gerindra, PPP, dan PAN, bahwa pilkada melalui DPRD juga demokratis dan sebaliknya pilkada secara langsung sangat mahal dan berpotensi memicu konflik horisontal, tidak berdasar.
Sejumlah kalangan menicermati bahwa RUU Pilkada ini adalah efek balas dendam sebagai buah dari Pilpres. Seperti diketahui pengusung pilkada melalui DPRD adalah partai-partai yang tergabung ke dalam koalisi merah putih. Jika saja dalam pilpres 2014 kemarin koalisi merah putih yang menang rasanya tak mungkin muncul usulan pilkada melalui DPRD. Apalagi partai-partai pengusung itu pilkada via DPRD itu dulunya justru yang menentang.
Kita berharap, para elit partai dan wakil rakyat di Senayan bisa memahami bahwa balas dendam, apapun bentuknya sangat tidak bagus, terutama jika dikaitkan dengan kepentingan bangsa yang besar bernama Indonesia. Oleh karena itu, lewat forum ini, kita menyerukan agar agenda kelompok politik yang ingin mengembalikan Pilkada lewat DPRD dihentikan. Niat bermotif dendam dan sakit hati ini harus dihentikan. Lebih dari itu, jangan khianati kehendak rakyat. (Tribun Cetak).