Editorial
Biarkan Rakyat Pilih Pemimpinnya
Menurut Basuki, rencana itu telah menghilangkan nilai demokrasi dan reformasi yang tertanam di pemerintahan.
WACANA sejumlah partai dari koalisi Merah Putih untuk memilih kepala daerah melalui mekanisme Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD) bisa dinilai pengingkaran terhadap agenda reformasi. Betapa tidak, munculnya Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) langsung boleh dikatakan sebagai buah dari gerakan reformasi.
Di era Orde Baru, pemilihan kepala daerah hingga presiden dilakukan oleh wakil rakyat baik itu DPRD, DPRRI dan MPRRI. Rakyat hanya memilih wakilnya, yaitu para anggota dewan. Para anggota dewanlah yang kelak memilih kepala daerah baik itu di kabupaten/kota, provinsi, hingga presiden.
Seiring bergulirnya era reformasi, demokrasi juga berkembang dan berubah. Rakyat berkuasa penuh menentukan pilihannya baik itu memilih wakil rakyat mulai tingkat daerah hingga pusat, hingga memilih presiden.
Masyarakat dilibatkan secara langsung untuk menentukan pemimpinnya, sehingga masyarakat merasa memiliki terhadap pemimpin yang terpilih. Pola ini bukan berarti tanpa kekurangan. Selain membutuhkan anggaran yang banyak untuk proses pemilihan di suatu daerah, kadang politik identitas mewarnai proses pemilihan langsung tersebut. Namun, nilai positifnya masyarakat dilibatkan langsung dalam proses pengambilan keputusan. Selain itu pemimpin-pemimpin yang mulai dari bawah, merakyat, tak elitis, juga bisa terpilih.
Di era Orde Baru masyarakat, terutama yang berfikiran terbuka dan sadar politik begitu mendambakan haknya. Masyarakat tak mulai tak percaya dengan peran wakil rakyat yang diberikan mandat.
Namun, wacana untuk memilih bupati, wali kota, dan gubernur melalui DPRD yang kembali bergulir seakan mengingatkan kita kembali saat masa kelam demokrasi di era Orde Baru. Kondisi ini seakan kembali mengingatkan kita akan politik yang diatur. Politik yang sudah bisa ditebak siapa yang akan memimpin untuk lima tahun ke depan.
Maka menjadi sangat wajar ketika sejumah tokoh yang bisa dikatakan produk reformasi menolak usulan tersebut. Di lingkaran koalisi Merah Putih ada sejumlah tokoh yang jelas- jelas dengan berani menolak sistem ini.
Wakil Gubernur Kalbar Basuki Tjahaja Purnama atau yang biasa dipanggil Ahok dengan tegas menolak sistem ini. Ia bahkan sudah mengirimkan surat pengunduran diri sebagai pengurus dan keanggotaan di Partai Gerindra.
Partai Gerindra bersama parpol dalam Koalisi Merah Putih menolak kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat dengan berbagai alasan. Dalam pembahasan RUU Pilkada di Dewan Perwakilan Rakyat, parpol Koalisi Merah Putih ingin kepala daerah dipilih oleh DPRD.
Menurut Basuki, rencana itu telah menghilangkan nilai demokrasi dan reformasi yang tertanam di pemerintahan. Selain itu, pemilihan oleh DPRD dianggap menjadikan kepala daerah sebagai "sapi perah" oleh para anggota dewan. Kepentingan publik pun akan semakin terkalahkan oleh kepentingan anggota dewan.
Tak hanya Ahok yang bersuara lantang menentang pemilihan kepala daerah melalui DPRD. Wali Kota Bogor Bima Arya yang merupakan politisi PAN masuk dalam daftar kepala daerah yang memilih Pilkada langsung. Dia berseberangan dengan sikap partainya yang mengusung Pilkada lewat DPRD.
Menurut Aria Bima, esensi demokrasi itu partisipasi. Pilkada langsung membuka ruang partisipasi publik. Lewat Pilkada langsung, seorang pemimpin diikat secara emosional dengan pemilih. Isu-isu lokal juga jadi lebih terperhatikan. Inilah yang membuatnya terus bergerak membuat perubahan di kota Bogor selama ini.
Pandangan yang serupa dikatakan kader PKS yang juga Wali Kota Depok Nur Mahmudi Ismail. Ia lebih setuju jika pemilihan kepala daerah diserahkan langsung ke masyarakat atau melalui proses pilkada langsung dibandingkan melalui mekanisme di DPRD. Nur Mahmudi mengatakan secara pengalaman pribadi dan perjuangan reformasi, proses pemilihan kepala daerah melalui DPRD adalah kemunduran dari sisi pemberian kewenangan pada rakyat.
Nah di era demokratisasi seperti saat ini maka sudah selayaknya kedaulatan itu diserahkan kepada empunya, yaitu rakyat. Politik biaya tinggi adalah satu di antara risiko untuk mendapatkan pemimpin yang baik dan legitimate. Tinggal proses perbaikan yang dilakukan secara terus menerus. (Tribun Cetak)