Editorial
Vonis Ringan Penyuap Akil
Vonis seperti ini membuat koruptor tidak takut, karena hukuman korupsi di Indonesia sangat ringan.
Penulis: Ahmad Suroso | Editor: Jamadin
HUKUMAN empat tahun yang dijatuhkan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor kepada Gubernur Banten non aktif Ratu Atut Chosiyah disesalkan sejumlah pihak. Hukuman tersebut dinilai terlalu ringan, mengingat apa yang dilakukan Atut dengan menyuap mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar telah mencoreng lembaga peradilan.
Seperti diketahui, Atut divonis lebih ringan dari tuntutan tim jaksa KPK. Dalam persidangan sebelumnya, tim jaksa KPK menuntut Atut 10 tahun penjara dan denda Rp 250 juta subsider 5 bulan penjara. Majelis hakim juga membebaskan Atut dari hukuman tambahan berupa pembayaran uang pengganti, dan menolak permintaan jaksa untuk menghapus hak dipilih dan memilih Atut.
Putusan atas perkara Atut ini diwarnai dissenting opinion atau pendapat berbeda majelis hakim.
Hakim anggota Alexander Marwata menilai Atut tidak terbukti melakukan perbuatan pidana sesuai dengan dakwaan primer maupun subsider. Dia menilai dakwaan tim jaksa hanya didasarkan asumsi, sehingga Atut harus dibebaskan dari hukuman.
Menurut Dahnil Anzar, pegiat antikorupsi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Banten (
Gresnews.com, Selasa, 2/9), dengan vonis tersebut hakim telah mengabaikan fakta bahwa suap Atut terhadap Akil telah menghina hukum Indonesia sampai pada titik terendah. Karena pihak yang diperintah disuap adalah hakim tertinggi dan terhormat, yakni Ketua MK.
Dampak dari suap tersebut kepercayaan publik terhadap MK merosot tajam,, tindakan suap Atut juga mempertegas tindakan membajak demokrasi dengan praktek uang. Tentu saja hal ini merusak kualitas demokrasi. Hakim mengabaikan efek jera yang seharusnya diberikan kepada koruptor. Vonis seperti ini membuat koruptor tidak takut, karena hukuman korupsi di Indonesia sangat ringan.
Sementara itu, berkaitan dengan tuntutan pencabutan hak politik yang tidak dikabulkan, hakim kembali menunjukkan ketidakpeduliannya dengan pentingnya membebaskan Indonesia dari praktek perburuan rente dalam politik yang diduga selama ini dilakukan dinasti politik Atut.
Penolakan terhadap vonis Atut juga diutarakan anggota Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat)
Universitas Gajah Mada Hifdzil Alim. Seharusnya, kata Hihdzil, majelis hakim bisa lebih bijak memutuskan. Sebab Atut sudah berurat berakar korupsinya. Mestinya bisa lebih tinggi
menjatuhkan putusan," kata Hifdzil dihubungi Gresnews.com, Selasa (2/9.
Oleh karena itu, rencana jaksa KPK mengajukan banding atas putusan hakim Tipikor terhadap Atut sudah sepatutnya dilakukan. Sebab seperti disampaikan Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas bahwa kasus ini telah menodai demokrasi yang telah dibangun dan MK serta melukai rakyat setempat. Kita mendukung KPK untuk melakukan upaya bandingagar proses peradilan terhadap Ratu Atut dapat memberikan rasa adil bagi warga Banten khususnya/
Korupsi adalah kejahatan luar biasa (extra ordinary) sehingga penanganannya pun juga harus dengan extra ordinary. Salah satunya adalah dengan memberi hukuman yang setimpal bagi para koruptor yang telah 'menggarong' uang negara. Dengan hukuman berat sebagaimana vonis hukuman seumur hidup yang dijatuhkan Pengadilan Tipikir Jakarta kepada mantan Ketua MK
Akil Mochtar, diharapkan akan memberikan efek jera kepada para calon koruptor.
Jika koruptor hanya dihukum ringan maka ini merupakan kemenangan bagi mereka yang gemar menggarong uang negara yang sumbernya antara lain dari pajak yang dibayar rakyat. Di negara lain, seperti Tiongkok atau Singapura, hukuman bagi koruptor sangat berat sampai hukuman mati.
Efek positifnya sangat terasa. Saat Tiongkok begitu banyak uang panas yang beredar karena pesatnya pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, perilaku korup bisa ditekan seminimal mungkin. Karena, seperti pernah diusulkan Mahfud MD saat masih menjabat Ketua MK, hukuman mati untuk koruptor kelas kakap bisa dipertimbangkan untuk diterapkan di Indonesia. (Tribun Cetak).