Editorial
Ancaman Pidana Kecurangan Pilpres
Menghadapi kekisruhan ini tentunya kita harus bijak menyikapinya, tidak terpancing menggunakannya sebagai bahan untuk berseteru di tingkat massa.
Penulis: Ahmad Suroso | Editor: Jamadin
PERTARUNGAN pilpres 2014 semestinya sudah berakhir. Lewat mekanisme hitung cepat (quick count) yang dilakukan delapan lembaga survei yang pada saat pemilu legislatif lalu juga melakukan survey dan menunjukkan keakuratannya --beda tipis dengan perhitungan resmi KPU--, sebetulnya sudah bisa diketahui siapa pemenangnya, yakni Joko Widodo-Jusuf Kalla. Pasangan ini unggul rata-rata berkisar lima persen dari pasangan Prabowo-Hatta Rajasa.
Namun adanya perbedaan hasil hitung cepat oleh empat lembaga survei 'baru' yang memenangkan Prabowo-Hatta Rajasa, yang juga unggul sekitar lima persen, menimbulkan kekisruhan dan kontroversi berkepanjangan hingga saat ini. Terlebih kedua kubu pasangan saling klaim kemenangan, sementara berdasarkan keyakinan kubu masing-masing kepada keabsahan dan keakuratan hasil hitung cepat tersebut.
Dengan dua hasil hitung cepat tersebut, publik dibuat bertanya- tanya, siapa sebenarnya pemenang sementara. Publik yang sudah terbelah dua sejak masih masa kampanye pilpres semakin tajam perpecahannya, karena informasi dan disinformasi bersliweran, baik media cetak, online, maupun media sosial. Menghadapi kekisruhan ini tentunya kita harus bijak menyikapinya, tidak terpancing menggunakannya sebagai bahan untuk berseteru di tingkat massa.
Secara konstitusional pemenang pemilu yang definitif harus menunggu penghitungan resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 22 Juli 2014. Mengingat masa pencermatan perolehan suara dua pasangan calon presiden-wakil presiden oleh semua pihak sudah berakhir Selasa (15/7) kemarin, maka harapan kini bertumpu pada penyelenggara pemilu (KPU) untuk bekerja keras mewujudkan rekapitulasi yang bersih dan bisa diterima semua pihak.
Penyelenggara pemilu dan peserta pemilu diingatkan untuk tidak mencoba-coba berbuat curang, dengan mendistorsi, memanipulasi atau melakukan kejahatan pemilu yang mencederai suara pemilih dengan mengubah hasil rekapitulasi suara pilpres. Penyelenggara pemilu jangan coba-coba main api, dengan menggelembungkan atau mengempiskan suara agar salah satu pasangan meraih kemenangan.
Semua penyelenggara pemilu, mulai dari TPS, rekapitulasi di kecamatan, kabupaten/kota, provinsi sampai KPU di Jakarta harus memastikan penghitungan suara dilakukan tanpa intervensi. Demikian juga kepada pasangan capres-cawapres dan timsesnya serta parpol pendukung pasangan capres- capwares untuk tidak mempengaruhi apalagi intimidasi ke penyelenggara pemilu.
Mereka harus sadar, sebab segala bentuk keberpihakan, apalagi kecurangan sampai mengubah hasil pemilu, adalah tidak pidana yang harus dihukum. Sebagaimana diatur dalam UU No 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden pasal 239, 242, 243 dan 244. Dalam pasal 243 disebutkan, setiap orang yang dengan sengaja merusak atau menghilangkan hasil pemungutan suara yang sudah disegel, dipidana penjara minimal 12 bulan, maksimal 36 bulan, denda maksimal 36 juta.
Selanjutnya, seperti dikutip dalam headline Kompas edisi Selasa (15/7), penyelenggara pemilu dan peserta pemilu yang berbuat curang menyebabkan rusak atau hilangnya berita acara pemungutan dan penghitungan suara dan/atau sertifikat hasil penghitungan suara yang disegel, diancam pidana minimal 12 bulan maksimal 60 bulan, dengan denda minimal Rp 500 juta, maksimal Rp 1 miliar (pasal 243/244).
Ancaman hukuman pidana ini mesti ditegakkan setegak- tegaknya tanpa pandang bulu kepada siapapun yang melakukan kejahatan terhadap pemilu. Bukan tidak mungkin, dalam proses penghitungan suara, ada penyelenggara negara yang tergoda menerima pelicin/rasuah. Ketimbang repot di kemudian hari dan memicu kericuhan saat hasil pemilu diumumkan 22 Juli mendatang, praktik lancung sebaiknya dihindari. Kita berdoa, semoga penetapan hasil pilpres oleh KPU pada 22 Juli nanti bisa diterima peserta pemilu, tanpa harus ada perselisihan hasil pilpres di MK. Semoga. (Tribun Cetak)