Editorial

Bijak Memilih Capres Pilihan

Baik itu berupa dukungan, pujian, kritik, hinaan, bahkan fitnah, dan dipilih ujaran yang kasar mengandung cacian dan kebencian

Penulis: Ahmad Suroso | Editor: Jamadin
zoom-inlihat foto Bijak Memilih  Capres Pilihan
net
Ilustrasi

DUA hari menjelang Ramadan 1435 H tiba, koran ini menulis editorial berisi harapan suasana sisa kampanye Pilpres yang panas dapat lebih sejuk.

Mengingat Ramadan adalah kesempatan kita untuk bisa mengendalikan diri. Karena sesungguhnya hidup adalah bagaimana kita mampu mengendalikan diri. Mengendalikan diri untuk jujur, disiplin, tanggung jawab, melaksanakan kewajiban serta mengendalikan emosi dan perilaku.

Namun, sampai memasuki hari keempat puasa Ramadan kemarin ternyata panggung kampanye pemilihan presiden justru kian riuh dan panas. Masyarakat makin terbelah secara diametral, antara 'kami' dan 'kamu', antara pendukung pasangan Prabowo-Hatta Rajasa, dan pasangan Jokowi-JK.

Jelang akhir masa kampanye ini, polarisasi makin hebat. Informasi dan disinformasi memenuhi ruang udara. Semua merasa punya kepentingan untuk mensukseskan pasangan Capres dan Cawapres yang diusung. Memanfaatkan media sosial seperti facebook dan twitter, youtube, instagram menjadikan medan kampanye tak lagi kenal waktu dan tempat. Selama 24 jam, para nitizen --sebutan untuk pengguna media sosial-- dari berbagai penjuru kian nyaring meneriakkan pendapat.

Baik itu berupa dukungan, pujian, kritik, hinaan, bahkan fitnah, dan dipilih ujaran yang kasar mengandung cacian dan kebencian.

Muncul trend yang memprihatinkan, yakni fanatisme berlebihan/buta terhadap capres. Seakan tak ada lagi sisi baik capres yang tidak kita dukung. Banyak postingan yang begitu tega menelanjangi pasangan capres dan cawapres tertentu meski berisi fitnah. Tak heran saat ini di tingkat elite politik pun makin banyak kasus dugaan fitnah yang dilaporkan ke aparat polisi dan Badan pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu).

Masyarakat seakan tak peduli lagi dengan rekam jejak dan visi misi capres pilihannya. Padahal, visi-misi kedua pasangan calon memberi banyak informasi tentang apa yang akan dilakukan untuk rakyat dalam berbagai sektor. Indikator untuk perhatian pada pemerintahan, "dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat" adalah ada tidaknya pernyataan dalam visi-misi tentang penguatan masyarakat sipil dan partai politik.

Kita harus tahu seluk-beluk mengenai capres pilihan kita, jangan sampai kita langsung menganggap hal-hal negatif yang tertuju pada idola kita adalah sebuah kampanye hitam. Periksa dulu data kebenarannya, bisa jadi itu adalah sebuah negatif campaign (fakta negatif). Kampanye hitam dengan kampanye negatif jelas berbeda. Kampanye hitam tidak didasarkan fakta, tapi fitnah, sedangkan kampanye negatif adalah fakta meskipun itu negatif.

Kita harus menimbang presiden pilihan kita secara bijak, sesuai hati nurani kita didasarkan pada rekam jejak dan visi-misi dua pasangan capres-cawapres. Baik yang banyak tersebar di media cetak maupun media online, serta dari forum debat capres- cawapres yang sudah memasuki putaran keempat, Minggu (29/6) silam. Bukan pada perang pendukung di dunia maya.

Selain itu, mengutip Sosiolog Ignas Kleden yang juga Ketua Badan Pengurus Komunitas Indonesia untuk Demokrasi, suatu pemerintahan yang berambisi melakukan segala sesuatu untuk rakyatnya, tanpa memberi kemungkinan bagi rakyat melakukan sesuatu atas prakarsa sendiri demi kehidupan bersama, sulit dinamakan pemerintahan yang demokratis.

Perlu diingat, tanggal 9 Juli kita bukan akan memilih siapa yang kita idolakan, layaknya memilih 'idol-idol' dalam program tayangan televisi nasional, namun kita akan memilih siapa yang lebih diperlukan untuk memimpin bangsa ini, menuju masyarakat yang demokratis, madani, sejahtera lahir batin. Pilpres hanyalah proses demokrasi dalam rangka memilih pemimpin bangsa.

Untuk itu, kepada para pemilih hendaklah mulai menentukan pilihan secara rasional, tidak emosional, tinggalkan fanatisme buta. Sedangkan kepada Presiden yang terpilih nantinya sudah semestinya menyadari masyarakat tak bisa terus-menerus dibiarkan terbelah menjadi, 'kami' dan 'kamu'. Tugas Presiden terpilih nanti yang mendesak adalah menyatukan kembali masyarakat yang sekarang sudah telanjur terbelah. (Tribun Cetak)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved