Editorial

Efek Jera Vonis Akil

Pemberian uang itu terkait sengketa Pilkada Kabupaten Merauke, Kabupaten Asmat, Kabupaten Boven Digoel, Kota Jayapura, dan Kabupaten Nduga

Editor: Jamadin
(TRIBUNNEWS/DANY PERMANA)
Mantan Ketua Mahkamah Akil Mochtar (kiri) disumpah sebelum bersaksi dalam sidang terdakwa Atut Chosiyah (tengah) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Kamis (12/6/2014). Atut didakwa terlibat dalam kasus dugaan suap sengketa pilkada Lebak di Mahkamah Konstitusi dan terancam hukuman maksimal 15 tahun penjara. 

MANTAN Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar divonis bersalah dengan hukuman seumur hidup. Hukuman itu sama dengan tuntutan Jaksa Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) yang juga menuntut dengan hukuman maksimal.

Sebelumnya Akil dituntut dengan hukuman seumur hidup dan denda Rp 10 miliar. Jaksa menilai Akil terbukti menerima hadiah atau janji terkait pengurusan 15 sengketa pemilihan kepala daerah.

Jaksa berpendapat Akil menerima hadiah atau janji sebagaimana
dakwaan kesatu, yaitu terkait sengketa Pilkada Lebak, Banten senilai Rp 1 miliar, Pilkada Kabupaten Gunung Mas senilai Rp 3 miliar, Pilkada Kabupaten Empat Lawang senilai Rp 10 miliar dan 500.000 dolar AS, Pilkada Kota Palembang senilai Rp 19.886.092.800, serta Pilkada Lampung Selatan senilai Rp 500 juta.

Akil juga dinilai terbukti menerima uang sebagaimana dakwaan kedua yaitu terkait sengketa Pilkada Kabupaten Buton senilai Rp 1 miliar, Kabupaten Pulau Morotai senilai Rp 2,989 miliar, Kabupaten Tapanuli Tengah senilai Rp 1,8 miliar, dan Pilkada Provinsi Jawa Timur senilai Rp 10 miliar.

Sementara itu, untuk dakwaan ketiga, Akil dianggap terbukti menerima Rp 125 juta dari Wakil Gubernur Papua periode tahun 2006-2011, Alex Hesegem. Pemberian uang itu terkait sengketa Pilkada Kabupaten Merauke, Kabupaten Asmat, Kabupaten Boven Digoel, Kota Jayapura, dan Kabupaten Nduga.

Jaksa juga menilai Akil terbukti menerima uang dari Tubagus Chaeri Wardana sebesar Rp 7,5 miliar sebagaimana dakwaan keempat. Jaksa menyatakan pula Akil terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang saat menjadi anggota DPR dan menjabat Ketua MK.

Vonis terhadap Akil ini nyarus sama persis tuntutan jaksa KPK. Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menyatakan Akil terbukti melakukan tindak pidana korupsi dan pencucian uang, sebagaimana dakwaan jaksa penuntut umum dari KPK, kecuali korupsi pilkada Lampung Selatan.

Majelis hakim berpendapat hukuman tersebut setimpal dengan perbuatan Akil yang menyebabkan hancurnya sistem penegakkan hukum dan kehidupan demokrasi di Republik Indonesia.

Setelah vonis yang cukup berat ini apakah membuat efek jera
bagi para koruptor lainnya. Kriminolog dari Universitas Indonesia Adrianus Meliala berpendapat putusan hukuman penjara seumur hidup yang dijatuhkan kepada Akil Mochtar tak akan memberikan efek jera dalam jangka panjang. Bahkan efek jera dari putusan Akil ini hanya akan bertahan dua tahun.
Menurut dia, efek jera itu tidak pernah konstan. Makim lama makin kecil efeknya. Jadi amat kondisional. Tapi hingga 1-2 tahun ke depan, cukup untuk membuat banyak pejabat hukum mikir tujuh kali sebelum korupsi.

Direktur Pusat Kajian Anti-Korupsi (Pukat) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar, menilai tingkat efek jera sangat bergantung pada pemerimaan publik dan ekspos media massa atas model hukuman seumur hidup secara terus-menerus.

Zainal mengkhawatirkan karakter masyarakat yang cepat lupa cenderung akan mudah memaafkan narapidana kasus korupsi yang akhirnya taubat. Dikatakan, pejabat publik yang membaca berita vonis tersebut bisa saja jera dalam waktu 1-2 minggu. Tapi kalau seiring amnesia publik, mereka cenderung memaafkan.

Bangsa ini memang sedang berperang mati-matian melawan korupsi yang sudah menggurita. Korupsi atau rasuah, dalam bahasa Latin dikenal dengan corruptio yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok. Di tengah upaya pemberantasan tersebut masih saja ada pejabat publik yang melakukan korupsi. Harapan kita dengan vonis yang cukup berat ini, mereka-mereka yang berniat melakukan korupsi bisa menghentikan aksinya.

Catatan lainnya setelah vonis ini KPK seharusnya langsung
tancap gas menelusuri kasus dugaan suap lainnya di MK, satu di antaranya sengketa Pemilukada Palembang. Saat ini Wali Kota Palembang, Romi Herton, dan istrinya, Masitoh, sudah ditetapkan sebagai tersangka. (Tribun Cetak)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved