Editorial
Hukuman Maksimal untuk Sang Pengadil
Dalam pidana tambahan, KPK juga meminta hak politik Akil untuk memilih dan dipilih dicabut.
Penulis: Ahmad Suroso | Editor: Jamadin
BANTAHAN bekas Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar terkait kasus dugaan suap penanganan sejumlah sengketa Pemilukada, tampaknya tidak membuahkan hasil. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) justru menjawab kegeraman Akil dengan tuntutan penjara seumur hidup.
Tuntunan hukuman maksimal tersebut adalah yang pertama kali dilakukan KPK. Sebelumnya, tuntutan hukuman terberat yang diberikan KPK adalah 20 tahun penjara pada Februari 2012 untuk hakim nonaktif di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Syarifuddin. Namun oleh hakim, Syarifuddin divonis 4 tahun penjara.
Tim jaksa penuntut umum KPK yang dipimpin Jaksa Pulung Rinandono dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (16/6), juga menuntut Akil membayar denda Rp 10 miliar. Akil dituntut seumur hidup karena melanggar Pasal 12 huruf C (tentang penerimaan suap) Pasal 11 (tentang penerimaan gratifikasi) UU No 20/2001 Tentang Tipikor, Pasal 3 dan Pasal 4 UU No 8/2010 Tentang TPPU.
Dalam pidana tambahan, KPK juga meminta hak politik Akil untuk memilih dan dipilih dicabut. Alasannya, menurut Jaksa Pulung Rinandoro, karena perbuatan Akil sebagai sang pengadil tertinggi di tanah air, yakni Ketua Mahkamah Konstitusi mengakibatkan runtuhnya wibawa MK sebagai ujung tombak dan benteng terakhir bagi masyarakat untuk mencari keadilan. Selain itu juga dinilai tidak menyesal dan tak kooperatif.
Sejumlah tuduhan Jaksa Penuntut Umum KPK yang dialamatkan ke Akil Mochtar, antara lain menerima uang Rp 1 miliar terkait penyelesaian sengketa pilkada Lebak, Banten, Pemilukada Gunung Mas Rp 3 miliar, Pemilukada Lampung Selatan Rp 500 juta, Pemilukada Empat Lawang Rp 10 miliar dan 500 ribu dolar AS, Pemilukada Palembang Rp 19,88 miliar. Selanjutnya, menerima suap dalam penanganan sengketa Pemilukada Buton Rp 1 miliar, Pemilukada Murotai Rp 2,989 miliar, Pemilukada Tapanuli Tengah Rp 1,8 miliar, Pemilukada Jatim Rp 10 miliar, Pemilukada Merauke, Asmat, Boven Digoel Rp 125 juta, Pemilukada Banten Rp 7,5 miliar, dan tindak pidana pencucian uang saat jadi anggota DPR RI dan Ketua MK. Total pencucian uang yang dilakukan Akil mencapai Rp 161 miliar.
Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama KH Said Aqil Siradj, dan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin mendukung tuntutan tersebut. Menurut Said jika tuntutan tersebut dikabulkan akan menjadi sejarah hukuman terberat untuk para korutor dan menjadi ancaman bagi koruptor yang berkeliaran. Sedangkan Din Syamsuddin pesimistis sanksi tersebut dapat membuat efek jera bagi pelaku rasuah. Solusinya, Din mengusulkan tambahan sanksi pemiskinan untuk Akil.
Tuntutan seumur hidup terhadap terdakwa korupsi pertama kali dilakukan oleh pihak Kejaksaan. Di tahun 2005, Kejaksaan menuntut hukuman seumur hidup kepada pembobol Bank BNI senilai Rp 1,2 triliun, Adrian Waworuntu. Dalam penelusuran detikcom, Selasa (17/6/2014), selain dituntut seumur hidup penjara, Adrian juga membayar denda Rp 1 miliar dengan pengganti pidana penjara selama 1 tahun.
Tuntutan Adrian pun diamini oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) yang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Roki Pandjaitan. Adrian dijatuhi hukuman terkait pembobolan BNI sebesar Rp 1,2 triliun pada 2003 silam dan terbukti melanggar pasal 2 ayat (1) jo pasal 18 UU no 31/1999 tentang tindak pidana korupsi. Mungkinkah nasib Akil akan menyusul Adrian Waworuntu?
Biarlah hakim Pengadilan Tipikor Jakarta yang akan menimbang dan memutuskan hukuman untuk Akil, apakah akan divonis dengan hukuman lebih ringan dari tuntutan jaksa atau
mengamini tuntutan jaksa KPK, dengan menjatuhkan vonis hukuman seumur hidup, dan tambahan hukuman lainnya.
Bila akhirnya hakim Tipikor memvonis hukuman seumur hidup ini menjadi sejarah baru bagi KPK dalam pemidanaan terhadap para koruptor. Pesan moralnya, bisa memberikan efek jera dan peringatan kepada semua pimpinan lembaga negara lainnya agar tidak melakukan hal serupa. (Tribun Cetak).