Editorial
Tahun Darurat Predator Anak
Kasus di Sukabumi itu membuka mata kita bahwa tidak ada lagi tempat yang nyaman untuk anak.
SATU per satu kasus pedofilia di Indonesia mulai terkuak. Terakhir, polisi menangkap Ahmad Sobadri alias Emon, 24 tahun, karena menyodomi 73 bocah laki-laki di Sukabumi. Bahkan informasi dari pihak kepolisian Sukabumi Senin sore kemarin, korban bertambah jadi 89 anak, rata-rata berusia di bawah 7 tahun. Bulan lalu, menyeruak pula kasus pencabulan seorang bocah di Jakarta International School yang dilakukan 6 tersangka, seorang di antaranya bunuh diri.
Pada hampir semua kasus, para predator ini selalu aktif mencari mangsa. Karena itu, korbannya selalu banyak. Kejahatan seksual yang menimpa anak-anak ini terjadi di hampir seluruh wilayah Indonesia. Predator-predator kejahatan seksual bersembunyi di lingkungan anak, di rumah dan institusi pendidikan.
Kasus di Sukabumi itu membuka mata kita bahwa tidak ada lagi tempat yang nyaman untuk anak. Situasi ini sudah amat darurat. Bukan hanya di Sukabumi dan JIS, kata Ketua Umum Komnas Perlindungan Anak Indonesia (PAI) Arist Merdeka Sirait, Sabtu (3/5), saya baru pulang dari Kalimantan Timur, anak-anak tingkat SD di sana juga mengalami kejahatan seksual.
Arist lalu mendaftar daerah-daerah di mana ada kasus kejahatan seksual, seperti Siantar (Simalungun, Sumatera Utara), Jembrana (Bali), Malang (Jawa Timur), Magelang (Jawa Tengah), Padang (Sumatera Barat), Medan (Sumatera Utara), Makassar (Sulawesi Selatan), Bandung (Jawa Barat). Kejahatan seks juga terjadi di sebuah sekolah elite di Jakarta Selatan, Jakarta International Shool (JIS).
Berdasarkan catatan tahunan Komnas PAI, pada 2012 jumlah korban anak yang mengalami kekerasan seksual ada 256 orang. Lalu pada 2013 jumlahnya meningkat menjadi 378 orang. Erlinda mengatakan, dari pantauan lembaganya, mayoritas korban kekerasan seksual adalah anak laki-laki dengan perbandingan persentase 60 persen anak laki laki dan 40 persen anak perempuan.
Tahun ini diperkirakan meningkat jumlah korbannya, karena makin banyak keluarga korban yang mau melapor. Dalam empat bulan terakhir ini, anak yang menjadi korban kekerasan seksual ada 200 orang lebih. Tidak berlebihan jika Komnas HAM menyebut tahun 2013-2014 sebagai Tahun Darurat Nasional Kejahatan Seksual terhadap Anak.
Sementara Pemerintah Kota Sukabumi menetapkan kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh Emon, sebagai kejadian luar biasa (KLB). Pasalnya, korban dalam kasus sodomi yang terjadi di wilayah Kota Sukabumi ini banyak dan berlangsung dalam kurun waktu tidak terlalu lama.
Wali Kota Sukabumi H. Muhammad Muraz, Senin, 5 Mei 2014 mengatakan, setelah Kota Sukabumi ditetapkan menjadi KLB, pihaknya langsung memberikan pelayanan satu atap terhadap semua yang menjadi korban tindak kekerasan seksual yang dilakukan oleh Emon.
Tingginya angka pedofil itu juga menarik perhatian Interpol dan Federal Bureau Investigasi (FBI)--biro investigasi Amerika Serikat. Menurut FBI seperti dikutip Kepala Bareskrim Mabes Polri Komisaris Jenderal Suhardi Alius pekan lalu kepada Tempo, kasus pedofilia di Indonesia tertinggi di Asia
Melihat besarnya bahaya yang mengancam anak-anak kita, sudah semestinya kejahatan seksual ini menjadi isu bersama sehingga aksi menentang kejahatan ini semakin luas. Para predator anak-anak di Indonesia akhir-akhir ini itu pantas dikutuk. Karena, tindakan itu tak berperikemanusiaan. Pelaku sodomi tak hanya merusak kesehatan anak yang menjadi korban, juga menghancurkan mental dan masa depan anak-anak.
Oleh karenanya, para penegak hukum mesti menghukum berat para pelaku. Tidak cukup dengan hukuman maksimal 15 tahun penjara seperti diatur dalam KUHP tentang Perbuatan Kejahatan yang Dilakukan Secara Berulang.
Setuju dengan usulan Komnas Perlindungan Anak mendorong supaya DPR, pemerintah merespons tuntuan masyarakat, seperti misalnya menghukum pelaku minimal 20 tahun penjara atau maksimal seumur hidup, supaya ada hukum pemberatan atau memberi efek jera. Namun yang terpenting dari itu semua adalah gerakan masif menentang kekerasan seksual terhadap anak. (Tribun cetak).