Editorial
Risma Effect
Terutama jika dinilai dari pandangan dan sikapnya terhadap jabatan dan bagaimana ia menanggapi tudingan melakukan pencitraan.
DI zaman ketika banyak manusia tidak lagi mempedulikan jalan yang halal dan haram dalam mencari uang dan mengejar jabatan, Tri Rismahartini alias Risma menjadi sosok yang langka. Terutama jika dinilai dari pandangan dan sikapnya terhadap jabatan dan bagaimana ia menanggapi tudingan melakukan pencitraan.
Walikota Surabaya yang menjabat sejak September 2010 yang telah banyak berbuat untuk kotanya sehingga meraih berbagai penghargaan nasional maupun internasional itu tidak mudah tergoda oleh kekuasaan. Ini bisa dilihat dari rekam jejak dia dimulai saat ia didorong maju sebagai calon wali kota Surabaya pada 2010.
Seperti dilaporkan Tempo (17-23 Februari 2014), Risma semula sama sekali tidak tertarik jadi wali kota. Ia mengaku tak pernah minta dan berdoa jadi wali kota. Setelah dibujuk oleh PDIP, dia bersedia dengan syarat tidak disebut 'melamar' atau 'dilamar' sebagai calon wali kota PDIP.
Karena tak punya dana kampanye, hanya uang Rp 70 juta dari hasil menjual sawah, dua kali Risma menelpon pengurus partai agar tak memaksakan pencalonan. Belakangan suatu hari ada utusan dari Jakarta menemui Risma menawarkan Rp 60 miliar sebagai dana kampanye. Syaratnya, Risma menandatangani surat permintaan.
Tak mau tersandera, Risma menolak tawaran itu. "Kenapa harus dipaksakan memang, wong nggak jadi aja enggak apa-apa," ujarnya. Risma punya keyakinan, pemimpin tidak boleh beli jabatan. Jika rakyat memilih berarti rakyat memercayainya. Jika tidak terpilih tidak apa-apa.
Risma memang tegas mengharamkan uang untuk kepentingan politik. Ini ditunjukkan, suatu hari saat kampanye, warga setempat menanyakan 'amplop'. Bukannya memberi, Risma marah, lantas meninggalkan arena. Satu hal lagi, Risma tak mau jadi anggota partai, meski diusung oleh PDIP
Kemudian meski banyak disanjung publik mengenai prestasinya, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini sedikit pun tak merasa bangga. Yang terbaru, ketika ditanya soal penghargaan sebagai Wali Kota terbaik tingkat dunia untuk Februari 2014 oleh The City Mayors Foundation, satu lembaga nirlaba internasional yang menilai kinerja wali kota se dunia, ia menjawab dengan ekspresi datar, Sabtu (22/2). "Aku biasa aja. Apa sih bangganya jadi Wali Kota. Ya sudah lah nanti ini akan jadi sekadar catatan masa tua kalau pernah jadi yang terbaik. Tapi aku sama sekali enggak bangga".
Beberapa kalangan yang tak menyukainya menganggap apa yang dilakukan Risma hanyalah sebuah drama pencitraan. Sebab, menurut beberapa lembaga survei persiapan pemilihan umum, elektabilitas Risma berada di urutan pertama sebagai pesaing Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo.
Seketika Risma menepis dugaan tersebut. Dia menjelaskan tak ada gunanya dia melakukan pencitraan. Pasalnya, sedikit pun tak ada keinginan untuk dia melenggang maju menjadi calon presiden, calon wakil presiden, atau sebagai wali kota di periode berikutnya.
Bahkan ia berniat mundur dari wali kota. Namun seiring keinginannya mundur yang pernah ia sampaikan ke publik karena ditekan dari berbagai penjuru, dukungan agar bertahan sebagai wali kota justru mengalir deras.
Bahkan Risma mendapat 'rayuan-rayuan' bernuansa politis dari partai luar PDIP. Pesona Wali Kota Surabaya, Risma kian hari makin tak terbantahkan. Risma yang notabene kader PDIP itu belum lama ini diundang Wakil Ketua DPR dari fraksi Partai Golkar Priyo Budi Santoso.
Juga dilirik Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, Prabowo Subianto untuk menggandengnya, sebagai bakal calon wakil presiden (Cawapres) dalam Pilpres, 9 Juli nanti seperti diberitakan koran ini kemarin. Pun Partai Demokrat siap menampung Risma. "Siap, siap," ucap Juru Bicara Partai Demokrat Ruhut Sitompul di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (24/2).
Orang boleh saja menutup mata terhadap segudang prestasi Risma, dan menuduh Risma melakukan pencitraan. Namun siapa yang bisa menyangkal kebenaran moral yang dikatakannya dan ditunjukkan dalam tindakan bahwa jabatan adalah amanah. Mundur bukanlah masalah. Tapi ia juga khawatir dengan kisah Nabi Yunus, yang dilempar ke laut dan ditelan ikan besar, karena meninggalkan umatnya. (tribun cetak)