Editorial
Mendeteksi dan Mengatasi Bencana
Erupsi Gunung Kelud ini telah mengeluarkan material 80 juta m3 abu dan pasir sampai ketinggian 10.000 meter.
TAKKALA bencana letusan Gunung Sinabung di Tanah Karo, Sumatera Utara sejak November tahun lalu hingga sekarang belum reda, giliran Gunung Kelud di perbatasan Kota Kediri, Blitar dan Malang, Jawa Timur meletus dengan dampak lebih dahsyat, Kamis (13/2) malam.
Erupsi Gunung Kelud ini telah mengeluarkan material 80 juta m3 abu dan pasir sampai ketinggian 10.000 meter. Tumpahan material pasir batu bercampur lava pijar itu menjelma menjadi hujan abu yang mengguyur hampir semua kota/kabupaten di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, bahkan sampai wilayah Ampenan, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat.
Hujan abu vulkanik tersebut menyebabkan 7 bandara Jumat kemarin ditutup yakni Bandara Juanda Surabaya, Abdulrahman Saleh Malang, Adi Sucipto Yogyakarta, Adi Sumarmo Solo, A.Yani Semarang, Husein Sastranegara. Bandung, Tunggul Wulung Cilacap. Sampai kemarin, erupsi Gunung Kelud telah menewaskan sedikitnya 3 jiwa, dan 76.388 jiwa mengungsi.
Gunung Kelud yang memiliki ketinggian 1,731 meter memang merupakan satu di antara gunung yang cukup aktif di Indonesia. Diperkirakan sudah meletus lebih dari 30 kali sejak tahun 1.000. Antara lain pada 19 Mei 1919, Kelud meletus menewaskan sedikitnya 5.000 orang. Kelud kembali aktif pada 1951, 1966, dan 1990, yang secara total menewaskan 250 orang. Pada 3-8 November 2007 Kelud memuntahkan abu vulkanis setinggi 500 meter ke udara.
Di tengah keprihatinan terhadap meletusnya Gunung Kelud, kita masih bersyukur. Karena, meski gumpalan awan hitam masih berlangsung hingga Jumat sore, menurut Sutopo Purwo Nugroho Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, itu hanyalah sisa-sisa dari erupsi. Erupsi Gunung Kelud itu juga tak akan memicu aktifnya gunungapi lainnya. Saat ini status gunungapi di Indonesia 2 status Awas, 3 status Siaga dan 17 status Waspada.
Bencana gunung meletus yang silih berganti di Indonesia sudah terjadi sejak masa ribuan tahun silam. Petaka-petaka alam gunung meletus di masa lalu itu telah menghancurkan peradaban kuno dan karya-karyanya khususnya di Pulau Jawa, dikarenakan Indonesia memiliki gunung berapi terbanyak di dunia, terutama Pulau Jawa. Kita tentu masih ingat betapa dahsyatnya letusan Gunung Krakatau di selat Sunda yang membuat dunia saat itu seperti kiamat.
Penyebab Indonesia rawan terhadap bencana juga karena terletak di 4 lempeng tektonik yang mengelilingi Indonesia. Dan itu hampir setiap saat bertabrakan, bertubrukan. Lempeng tektonik, jika tumbukannya vertikal, jika kekuatannya 6 Skala Richter lebih kemungkinan terjadi tsunami, seperti di Aceh, Nias dan lainnya.
Pemaparan sejarah bencana alam mematikan di masa lalu itu bukan dimaksudkan untuk menakut- nakuti, tapi kita ingin bersama-sama mengingat dan menggunakan petaka masa lalu sebagai modal belajar mitigasi kebencanaan, supaya kesadaran bahwa kita hidup di atas lempeng bencana itu bersambung generasi, sehingga kita tidak terkaget-kaget lagi.
Mengingat petaka alam seakan sudah menjadi pengunjung tetap, maka belajar dari masa lalu, Pemerintah bersama seluruh lapisan masyarakat hendaknya siap menghadapi bencana dengan membangun sistem penanggulangan, meningkatkan kewaspadaan, dan menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi, perbaiki manajemen dampak bencana agar lebih sigap saat bencana kembali datang.
Selain tindakan kuratif dan mitigasi tersebut, tak kalah pentingnya adalah tindakan preventif yang terintegrasi terhadap kerugian akibat erupsi gunung, gempa bumi ataupun banjir, dengan memberikan penyuluhan dan pelatihan penanggulangan bencana kepada seluruh masyarakat di sekitar gunung yang non-aktif yang berada di jalur magma atau cincin api sepanjang Sumatera- Jawa-Bali-Nusa Tenggara-Sulawesi hingga Maluku.
Fenomena alam tidak akan berubah menjadi bencana alam dahsyat jika kita memiliki konsep ketahanan bencana yang baik. Yaitu, memiliki evaluasi sistem dan infrastruktur yang mampu mendeteksi, mencegah dan menangani dampak yang timbul. Meskipun daerah tersebut rawan bencana dengan jumlah penduduk yang besar, jika diimbangi dengan ketahanan terhadap bencana yang cukup, kerentanan jatuhnya korban jiwa atau materi bisa lebih diminimalisasi. Semoga. (tribun cetak)