Editorial

Beras Premium Rasa Medium

Data konsumsi tiap tahun pun ditentukan dengan asumsi berlainan.

Editor: Jamadin
zoom-inlihat foto Beras Premium Rasa Medium
Ilustrasi
Ilustrasi

Memasuki tahun politik 2014 ternyata bukan hanya diwarnai mulai memanasnya suhu perpolitikan nasional, namun juga membuat 'gerah' para petani di Indonesia. Nasib petani di tanah air saat ini ibarat sudah jatuh tertimpa tangga. Di satu sisi, produksi pangan terancam gagal panen, akibat banjir yang merendam areal persawahan selama hampir tiga pekan di Pulau Jawa, khususnya di daerah-daerah sentra padi di pantai utara Jawa Barat dan Jawa Tengah.

Di sisi lain, mereka dihadapkan pada kisruh importasi beras yang berawal dari munculnya 16.900 ton beras Vietnam di pasar-pasar lokal di Indonesia. Beras kualitas medium itu didatangkan importir swasta. Padahal hanya Bulog yang diberikan kewenangan mengimpor beras medium sebagaimana ditegaskan ulang Menko Perekonomian dalam Rakor Pangan, 22 Januari 2014 silam.

Ketika kisruh importasi beras Vietnam kualitas medium itu heboh, para 'aktor' berusaha mengelakkan dari tanggung jawab. Lantas, siapa yang harus bertanggungjawab terhadap aliran beras premium rasa medium alias ilegal di pasar-pasar lokal? Kecurigaan mengarah ke Gita Wiryawan, mantan Menteri Perdagangan yang tengah bertarung di Konvensi Capres Partai Demokrat, karena Gita-lah yang memiliki wewenang memilih importir terdaftar. 

Gita diduga membiarkan praktik 'gelap' maraknya permainan impor komoditas pada tahun-tahun menjelang pelaksanaan pemilu. Namun Gita yang mengundurkan diri sebagai Mendag pada Jumat dua pekan lalu berdalih, jika di lapangan ditemukan beras premium yang harganya setara dengan beras medium, itu tanggungjawab Kementerian Pertanian. 

Kemendag berdalih hanya mengeluarkan izin bagi importir swasta untuk mendatangkan beras Vietnam kategori premium sebanyak 16.500 ton. Namun ternyata, beras yang diklaim premium itu lebih murah dibandingkan beras medium lokal. Karuan saja, para petani dan pedagang beras medium lokal menjerit. Untuk diketahui, beras premium biasa untuk konsumsi segmen tertentu dengan harga mahal. Dan hanya importir terdaftar yang boleh mendatangkan.

Tak mau disalahkan, Kementerian Pertanian menegaskan beras Vietnam itu ilegal. Ditjen Bea Cukai mengaku meloloskan, karena beras Vietnam medium dilaporkan sebagai beras premium. Para importir pun tak mau disalahkan. Karena merasa importasinya didasarkan atas kelengkapan dokumen angkutan, dan dokumen Surat Persetujuan Impor yang legal dikeluarkan Kemendag.

Kisruh importasi beras Vietnam kali ini sejatinya mengingkari UU 18/2012 tentang Pangan, dan UU 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Pasalnya, dua UU yang mengamanatkan kedaulatan pangan dan petani telah sertamerta digembosi.
Berbagai indikasi penyimpangan dalam kasus surplus beras RI hasil impor beras dari Vietnam itu tak boleh dibiarkan. Aparat hukum mesti menelisik indikasi jual-beli kuota impor dalam kasus ini. Apalagi ada sinyalemen yang mengerucut pada adanya kongkalikong antara oknum petugas survei dan oknum importir.

Untuk itu selain penting dilakukan penindakan terhadap importir nakal, juga diperlukan penataan kebijakan berberasan nasional, mulai dari pembenahan data produksi dan konsumsi yang selama ini tak pernah jelas. Data produksi versi Kementerian Pertanian dan BPS berbeda. Data konsumsi tiap tahun pun ditentukan dengan asumsi berlainan.

Banyak pihak menilai bahwa kekeliruan tata-aturan terkait beras ini bukanlah sekedar kekeliruan kebijakan. Akan tetapi, meminjam istilah Prof Dr M Maksum Machfoedz, Guru Besar Pertanian UGM, pengeliruan kebijakan, yang sengaja dibangun untuk melebarkan kesempatan berburu rente. Harga beras lokal yang jauh lebih mahal dibanding beras di pasar internasional kerap memicu syahwat importir dan birokrat untuk meraup rezeki ilegal dari kuota impor. (tribun cetak)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved