Dari Penjual Menjadi Kolektor Barang Antik
"Saya hobi mengkoleksi barang-barang ini sejak 2001.
SETIAP orang pastinya memiliki hobi yang berbeda-beda. Banyak kisah menarik yang dapat diceritakan dari hobi yang dimiliki seseorang. Seperti kisah Netty, seorang pengusaha rumah makan ini. Ia memiliki hobi yang unik, yaitu mengkoleksi barang-barang kuno (antik).
Lebih dari dua belas tahun ia mengumpulkan barang-barang antik tersebut. Dari semua jenis barang antik yang yang ada, ia lebih tertarik mengkoleksi gentong (tajau), lukisan, dan mandau.
"Saya hobi mengkoleksi barang-barang ini sejak 2001. Hobi ini saya lakoni karena background saya yang dulu seorang pedagang barang antik, setelah berumahtangga saya justru menjadi pengoleksi barang-barang kuno," ungkap Netty kepada Tribun, saat ditemui di kediamannya, Rabu (20/11/2013).
Cukup banyak koleksi gentong antik miliknya. Sekitar 20 gentong menghiasi seluruh ruangan di rumahnya. Harganya koleksi gentongnya bervariasi, mulai dari Rp 1,5 juta sampai Rp 15 juta. "Ini gentong saya yang warna hijau ini harganya sangat mahal. Untuk barang kuno, hijau adalah tingkatan yang paling mahal," terangnya sambil menunjukkan gentong tersebut.
Meskipun sudah banyak yang menaksir barang antiknya dengan harga tinggi, namun ia tidak mau menjualnya. Dikatakannya walaupun ada yang menawarkan harga Rp 1 milyar sekalipun, dirinya tidak akan menjual barang antik koleksi.
"Setelah kita jual belum tentu bisa dapat barang yang sama, tapi pada dasarnya saya mengkoleksi barang-barang ini bukan untuk dijual. Hanya untuk hobi dan kepuasan diri saja," pungkasnya.
Tidak mudah Netty mendapatkan gentong-gentong kuno itu. Karena barang itu dirinya dapatkan dari pelosok ke pelosok daerah yang ada di Kalbar. Kerap ia harus tawar menawar harga kepada sang penjual. Butuh waktu lama untuk menyepakati harga kedua belah pihak.
Istri seorang pengacara ini kadang hampir ditipu oleh penjual barang antik. Ada yang menawarkannya barang antik, padahal itu barang biasa saja. Karena pengalamannya dulu pernah berjualan barang antik, tentunya ia sangat pandai membedakan mana yang palsu dan tidak. Sehingga ia tidak mudah ditipu oleh orang lain.
Sejak duduk di kelas 6 SD, ia membantu almarhumah ayahnya menjual barang antik. Harus memikul barang yang lumayan berat itu dan membawanya menawarkan ke setiap pelanggan.
"Dulu saya dari rumah pelanggan satu ke pelanggan yang lain menawarkan gentong-gentong itu. Dengan naik motor butut, saya dan adik saya membawa kemana-mana barang itu. Kadang saya kasih harga tinggi dari patokan yang ada. Biar saya dapat uang jajan. Di dalam bisnis berdagang yang penting bisa menyakinkan orang maka lakulah barangdagangan kita," ujarnya sambil tertawa geli mengingat kisah masa lalunya.
Dari berjualan barang-barang inilah yang mempertemukan antara Netty dan Martinus Ekok, sang suami. "Boleh dibilang kalau saya tidak jual barang ini, saya tidak ketemu bapak. Karena awal kami ketemu, saat saya menagih uang kepada bapak. Bapak saat itu beli barang antik dengan almarhumah ayah saya. Disuruh saya yang menagih, rupanya bapak kepincut ketika melihat saya saat itu," ceritanya.
Berawal dari itu, kemudian mereka menjalin kasih dan memutuskan untuk melanjutkannya dalam mahligai rumah tangga. Pada 1994, mereka menikah. Dan hasil perkawinan itu dikarunia seorang anak perempuan bernama Albertina Ekty.
Setelah berumahtangga profesinya dulu sebagai pedagang barang antik sudah tidak dilakoninya lagi. Dan sekarang ia yang justru membeli barang-barang antik itu untuk dikoleksi.
Rencananya Netty akan membuat sebuah gallery, jika kelak barang-barang antik koleksinya sudah semakin banyak. "Kalau sudah banyak pastinya tidak muat lagi disimpan di rumah, jadi nanti saya simpan di galery khusus. Supaya barang-barang itu tersimpan dengan rapi dan indah," imbuhnya. (tribun cetak)