Komunitas Cinte Bahase Melayu Kalimantan Barat

Kecintaan kami yang begitu besar terhadap bahasa ini, olehkarena itu kami membentuk komunitas ini dengan diberi nama CBMKB

Penulis: Mirna | Editor: Arief
IST
Komunitas Cinte Bahase Melayu Kalimantan Barat (CBMKB) 

HAMPIR tiga tahun sudah eksistensi keberadaan Komunitas Cinte Bahase Melayu Kalimantan Barat (CBMKB) ini menggawangi teman-teman pemerhati kekhasan bahasa Melayu.

Menurut mereka, sangat penting untuk menggali bahasa-bahasa Melayu yang biasa dipakai sebagai komunikasi di masa lalu, agar tetap lestari dan tidak hilang ditelan zaman.

Kerisuan mereka yang sangat besar, karena bahasa asli Pontianak telah bercampur dengan bahasa lain, seperti Tionghoa, Jawa, dan sebagainya, membuat mereka membentuk komunitas ini.

"Kecintaan kami yang begitu besar terhadap bahasa ini, olehkarena itu kami membentuk komunitas ini dengan diberi nama CBMKB. Baik melalui fanpage, grup FB dan pertemuan-pertemuan antar kaum muda Pontianak dengan tokoh melayu Kalimantan Barat dan sebagainya," ungkap Dwi Agus Prianto, satu di antara pemuda pemerhati Bahasa Melayu Kalbar kepada Tribun, Kamis (31/10/2013).

Secara resmi, komunitas ini berdiri pada 2010. Dan Hanafi Mohan merupakan pendiri grup yang saat ini berada di Jakarta, dan bekerja di UIN Ciputat.

Awalnya, komunitas ini bernama Cinte Bahase Melayu Pontianak (CBMP). Kemudian diganti menjadi Cinte Bahase Melayu Kalimantan Barat (CBMKB). "Tadinya CBMKB komunitas di facebook, lama-kelamaan kopi darat," tambahnya.

Kegiatan yang mereka lakukan senantiasa mengumpulkan kosakata-kosakata Melayu lama, kemudian disosialisasikan lewat blog-blog seperti arusderas.blogspot.com. "Dan menjadikannya secara aktif pada komunikasi sehari-hari antar sesama anggota CBMKB dan simpatisannye," tuturnya.

Tempat-tempat seperti Istana Kadriah dan kompleks Batulayang, sebagai basis tempat mereka berkumpul. "Kami juga pernah ke Istana Sambas, Ketapang, Mempawah, Tayan, dan Sintang, untuk silaturahim," ujarnya.

Boleh dibilang, sekali dalam sepekan, mereka ngumpul di tempat yang ditentukan. "Kita biasa menumpang di rumah beberapa anggota untuk sekedar ngumpul dan silaturahim. Dalam kelompok kecil bahkan tiap hari kita ngumpul," tegasnya.

Dalam kurun waktu hampir 3 tahun ini, beberapa rutinitas kegiatan telah mereka lakukan. Di antaranya makan saprahan atau kalau dulu disebut seperah panjang. Selain itu mereka kerap mengadakan bepadah dalam dialek-dialek Melayu di Kalbar.

"Kite juga nginisiasikan menggunekan pakaian-pakaian Melayu dan kelengkapannye macam stenjak, tengkolok, sabok, dan kelengkang. Baek dalam jempotan (undangan) umom
Atau cuman sekadar ngumpol-ngumpol biase di kedai kopi," tambah Doni Iswara, yang juga satu di antara pemerhati Bahasa Melayu.

Bahasa Identitas Bangsa

Mereka mengatakan bahasa adalah identitas suatu bangsa. Tidaklah pantas jika kita sebagai pemuda dan pemudi bangsa, melupakan bahasa kita sendiri, khususnya bahasa Melayu dan lebih menyukai bahasa asing.

"Itukan identitas. Sedangkan di Jawa dan Sumatera sanak, bahase daerah mereke mulai secare resmi dimasokkan dalam muatan lokal pendidikan formal. Kenape kite tadak," terang Doni.

Bahkan menurutnya, sejumlah Bupati di Provinsi Jawa Tengah saja mewajibkan pada hari-hari tertentu menggunakan dialek lokal mereka, "Itukan luar biase," tambahnya.

Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved