2 TKI Pontianak Divonis Mati
DPR Desak Pemerintah Bebaskan Frans
Ia mengatakan keputusan Mahkamah Tinggi Syah Alam telah mencederai rasa keadilan dan kemanusiaan
Tidak hanya ke KBRI, rombongan Komisi I DPR juga akan mendatangi TKI yang terancam hukuman mati. Terutama Maryanto Azlan, TKI asal Lamongan, Jawa Timur, yang sangat kecil kemungkinannya untuk bisa lepas dari hukuman mati karena kasus pembunuhan.
"Kita juga akan mencari tahu informasi tentang dua warga Pontianak yang baru saja divonis hukuman mati. Kita dengar pengaduan mereka apa. TKI yang lain juga. Benar atau salah. Benar- benar membunuh, narkoba, atau bagaimana," ujarnya.
Gus Coi menegaskan tujuan Komisi I ke Malaysia untuk menyelamatkan para TKI tersebut. Hasil kunjungan itu, akan dirumuskan Komisi I DPR. Karena menurutnya, solusi itu sudah ada. Saat berkunjung ke Malaysia, nanti diketahui mana saja TKI yang sudah dimaafkan keluarga korban, mana saja yang kasasi dan menang, dan mana saja yang sudah mendapat pengampunan dari Raja.
TKI Ilegal
Lebih lanjut Gus Choie menjelakan, data dari Migrant Care mencatat terdapat 354 orang TKI yang terancam hukuman mati, sementara data dari Kemlu menyebutkan ada sekitar 400 orang.
Ia pun menaruh curiga terhadap banyaknya TKI yang terancam hukuman mati di Malaysia. "Ada kencenderungan polisi malaysia ingin menghancurkan reputasi indonesia dan itu dilakukan sistematis," katanya.
Tidak hanya mengundang perhatian anggota DPR, persoalan hukum yang membelit Frans dan Dharry, juga memantik keprihatinan sesama TKI di Malaysia. Tribun Pontianak, menerima
pesan singkat (SMS) dari warga Kalbar yang juga bekerja di Malaysia, Minggu siang.
TKI bernama Dedi itu meminta Tribun terus memperjuangkan pembebasan Frans dan Dharry. Apalagi, dua bersaudara itu merupakan teman sekampungnya. Dihubungi melalui nomer telepon genggangnya yang bernomor Malaysia, Dedi meluangkan waktu sejenak untuk bercerita.
Saat itu, ia sedang menjaga kedai.
"Pemerintah harus membantu mereka. Meraka tidak bersalah karena sepengetahuan saya, mereka hanya membela diri. Masak kita mau dipukul orang kita diam saja. Tentunya kita harus melawan," ujarnya.
Dedi mengaku sudah mendengar penangkapan Frans dan Dharry sejak 2010. Namun sampai saat ini, ia belum bisa mengunjungi keduanya karena kebebasannya sebagai TKI terbatas. "Di sini banyak TKI ilegal. Kami hanya bekerja dan tidak bisa sembarangan. Sampai sekarang saya belum pernah mengunjungi Frans dan Dharry sejak ditangkap. Kebetulan kami juga tidak terlalu akrab. Namun, kami seperantauan anak Indonesia," paparnya.
Ia baru tahu vonis mati kepada Frans dan Dharry dari laman jejaring sosial facebook. Ia pun kaget. Selama berada di satu kampung, ia tak pernah mendengar frans dan Dhary seorang yang usil. "Saya kaget karena mereka divonis hukuman gantung. Padahal sepengetahuan saya, keduanya tidak pernah usil kepada siapapun. Jadi, waktu itu, saya benar-benar kaget," imbuhnya. (edisi cetak)