Pilpres 2019
Empat Pakar Hukum Ungkap Kemungkinan Prabowo Subianto - Sandiaga Uno Menang di Mahkamah Konstitusi
Empat Pakar Hukum Ungkap Kemungkinan Prabowo Subianto - Sandiaga Uno Menang di Mahkamah Konstitusi
Empat pakar hukum mengungkap kemungkinan Prabowo Subianto - Sandiaga Uno menang di Mahkamah Konstitusi.
Hal itu setelah kubu Prabowo - Sandiaga mengajukan gugatan hasil Pilpres 2019 alias sengketa Pilpres 2019 ke Mahkamah Konstitusi (MK), Jumat (24/5/2019) kemarin.
Namun demikian, untuk sampai mengubah hasil Pilpres 2019, hal itu jelas tidak mudah.
Berikut pandangan pakar hukum terkait kemungkinan tersebut:
1. Refly Harun
Saat ditanya mungkin tidak kalau secara kuantitatif apa yang dilaporkan BPN Prabowo - Sandi dibuktikan dengan waktu yang sebegitu ketat, Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun mengatakan ada dua aspek pendekatan.
Satu kuantitatif dan yang kedua kualitatif.
"Kalau kuantitatif ini BPN harus bisa membuktikan bahwa mereka itu dikurangi, dicurangi atau ada penggelembungan suara bagi pasangan 01, sejumlah separo dari 16.957.123 suara. Artinya kira-kira ada sekitar 8,5 juta suara," kata Refly.
"Kalau dia bisa mendalilkan bahwa saya dikurangi atau di sana ada penggelembungan 8,5 juta suara setelah diakumulasikan, maka di situ kita baru bicara signifikan untuk diproses lebih lanjut dari sisi kuantitatif," jelasnya.
Tapi kalau dari permohonan saja, tidak signifikan, hanya klaim-klaim, maka bergerak pada dimensi kedua yaitu dimensi kualitatif.
"Contoh misalnya orang yang tidak memilih dihitung, daftar pemilih khusus tambahan dihitung, itu cenderung tidak signifikan. Maka bergerak pada dimensi kedua yaitu dimensi kualitatif. Ketika kita bicara dimensi kualitatif, ada dua juga," lanjutnya.
"Apakah kita akan bergerak pada TSM (Terstruktur, Sistematis dan Massif) ataukah kita hanya cukup membuktikan bahwa memang ada kecurangan yang diperintahkan, yang langsung dikomando oleh pasangan 01 atau tim kampanye nasionalnya," urainya.
Itu penting untuk dikaitkan dengan pemilu yang jujur dan adil.
Menurut Refly Harun, berat untuk membukti kecurangan yang terstruktur, sistematis dan massif (TSM).
"Untuk TSM, terus terang berdasarkan pengalaman saya sejak 2004, berat membuktikannya. Karena menyangkut sebaran suara yang besar, jumlah yang besar dan lain sebagainya," katanya.
"Tidak ada waktu menurut saya untuk membuktikan TSM itu dalam waktu 14 hari kerja," katanya.
Dirinya mencontohkan, kalau kita bicara tentang keterlibatan ASN.
"Bisa nggak BPN membuktikan bahwa ASN memang terlibat dan diperintahkan secara struktural? Buktinya bisa apa saja. Tapi hakim harus diyakinkan bahwa ini adalah perintah yang sifatnya komando," paparnya.
Selama ini belum pernah terjadi di Indonesia, sebuah kecurangan dalam Pilpres terbukti yang akhirnya bisa saja mendiskualifikasi pasangan lawan.
Refly Harun mengatakan dirinya sudah membaca semua permohonan terkait gugatan ke MK mulai 2004.
"Ibaratnya speakernya saja yang besar. Tetapi begitu dituangkan dalam tulisan, nothing, nol. Ini yang menurut saya, lawyer-lawyer BPN harus paham betul," tegasnya.
Refly Harun melanjutkan, kalau MK mau berubah paradigmanya, satu saja terbukti bahwa itu dilakukan pasangan calon, maka seseungguhnya sudah terjadi pelanggaran Pemilu.
"Nah, masalahnya kemaren tidak begitu. Jadi kemaren-kemaren itu tidak pernah membuktikan sampai sedalam-dalamnya bahwa ini ASN digerakkan, dan ini ada perintah komandonya. Karena sulit membuktikannya, apakah ada perintah komando atau tidak," jelasnya.
"Kemudian TNI Polri terlibat memenangkan dan lain sebagainya, bagaimana pula membuktikannya?," lanjut Refly Harun.
Kalau seandainya hal-hal seperti itu yang disasar, maka sidangnya akan lebih terukur dan teratur.
Refly mengatakan, terlepas siapa yang akan menang, dirinya sebagai warga negara mendambakan sebuah Pemilu yang jujur dan adil.
Pokoknya Pemilu yang tidak becek dari sisi kesalahan, kekurangan dan kecurangan.
"Saya tidak tahu apakah hakim MK berani menerapkannya untuk Pilpres. Pokoknya kalau kami tahu satu saja kecurangan, dan kecurangan tersebut anda gerakkan, pasangan calon yang perintahkan, tidak ada ampun, diskualifikasi. Karena itu sudah jadi kejahatan Pemilu," pungkasnya.
2. Feri Amsari
Menurut pakar hukum dan tata negara, Feri Amsari, ada satu hal yang bisa dilakukan BPN Prabowo-Sandiaga jika ingin mengubah hasil Pilpres 2019.
Mereka harus mampu membuktikan minimal 10 juta dari 85 juta suara Jokowi-Ma'ruf adalah milik mereka.
Angka tersebut, menurut Feri, adalah bilangan minimal yang dibutuhkan paslon nomor urut 02 itu untuk dapat mengubah hasil pemilu dengan memenangkan sengketa di MK.
"Setidak-tidaknya pihak yang mengajukan permohonan mengubah hasil pemilu ini harus membuktikan 10 juta suara merupakan adalah suara haknya," kata Feri, dikutip Tribunnews.com dari Kompas.com.
Perhitungan tersebut diambil dari kalkulasi perolehan suara pasangan calon presiden dan wakil presiden yang ditetapkan KPU, Selasa (21/5/2019).
Sebab, Jokowi-Maruf meraih 85,6 juta suara, sedangkan Prabowo-Sandiaga mendapat 68,6 juta.
Untuk dapat mengubah hasil Pilpres 2019, suara Prabowo-Sandi harus mengungguli Jokowi-Ma'ruf, minimal dengan selisih 10 juta.
Jika hal tersebut terjadi, maka suara Jokowi berkurang menjadi 75 juta, sedangkan Prabowo-Sandi bertambah 78 juta.
"Paling aman membuktikan 10 juta (suara), kalau mengajukan 9 juta (suara) masih ada risiko ditolak sebagian, harus lebih banyak dari yang dibutuhkan," ujar dia.
Feri yang juga Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas itu menilai, angka tersebut bukan hal yang kecil.
Dibutuhkan ratusan ribu formulir C1 dari ratusan ribu TPS yang harus dapat membuktikan penghitungan yang tidak tepat.
Dengan begitu, Prabowo-Sandi baru bisa memenangkan sengketa di MK dan mengubah hasil pemilu.
3. Mahfud MD
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Mahfud MD juga berpendapat serupa, Prabowo-Sandi bisa berbalik unggul dari Jokowi-Maruf.
Dalam acara Kabar Siang di tvONE, Rabu (22/5/2019), Mahfud MDmenyebut, soal gugatan angka dalam sengketa Pilpres 2019.
Menurut Mahfud MD, jika gugatan angka dilaporkan, bisa saja angka yang semula milik Jokowi bisa berubah menjadi Prabowo.
"Nah kalau yang dipertentangkan itu soal angka hasil pemilu, angka perhitungan hasil pemilu itu nanti tinggal adu dokumen."
"Adu bukti-bukti, kan, yang di KPU kemarin tidak benar, ini kami punya bukti lain itu untuk mengubah angka," tutur Mahfud MD.
"Bisa saja nanti MK mengubah, yang semula misalnya Pak Jokowi mendapat 55 persen, Pak Prabowo mendapat 45 persen."
"Bisa juga berbalik 55 untuk Pak Prabowo. Tapi bisa juga Pak Jokowi turun 52, Pak Prabowo naik sedikit bisa juga. Bisa juga Pak Jokowi itu naik."
"Kemungkinan itu untuk menghitung angka, itu kalau soal angka," kata Mahfud MD dalam acara tersebut.
Sementara itu, dalam tayangan di iNews Sore, jika Prabowo-Sandi dan BPN menggugat ke MK, ada kemungkinan perubahan suara.
Sebab, MK juga bisa mengubah suara yang telah ditetapkan KPU sebelumnya.
Bahkan, ada kemungkinan pemenang lain di luar ketetapan KPU.
Hal ini disampaikan Mahfud karena ia pernah memenangkan calon kepala daerah yang sebelumnya dianggap kalah dalam penghitungan suara.
"Di MK itu bisa lho, mengubah suara. Saya waktu jadi ketua MK sering sekali mengubah suara anggota DPR."
"Kemudian kepala daerah, gubernur, bupati, itu yang kalah jadi menang."
"Bisa suaranya berubah susunannya, ranking satu dua tiga menjadi yang nomor 3, nomor satu dan sebagainya."
"Itu sering sekali dilakukan asal bisa membuktikan."
"Dan yang penting kalau di dalam hukum itu, kan, kebenaran materiilnya bisa ditunjukkan di persidangan."
"Nah, oleh sebab itu, yang kita harapkan fair-lah di dalam berdemokrasi," ujar Mahfud MD.
Mantan Ketua MK lainnya, Hamdan Zoelva juga mengatakan hal serupa.
Hal tersebut disampaikan Hamdan Zoelva saat menjadi narasumber melalui sambungan telepon di program 'Breaking News' tvOne, Sabtu (25/5/2019), seperti dikutip Tribunnews.comdari Tribun Wow.
Semula, Hamdan yang dulu menjadi ketua MK saat Prabowo mengajukan gugatan sengketa Pilpres 2014, ditanyai oleh pembawa acara tvOne soal kemungkinan hasil Pilpres 2019 bisa berubah.
"Apakah ada celah dari pemohon (kubu Prabowo-Sandiaga) untuk mengubah hasil Pilpres 2019?" tanya pembawa acara tvOne.
Menanggapi hal tersebut, Hamdan Zoelva menilai perubahan hasil Pilpres 2019 mungkin saja terjadi.
Namun, lanjut Hamdan Zoelva, hal ini akan sangat tergantung pada apa yang dipersoalkan oleh si pemohon.
"Mungkin saja, kita nanti sangat tergantung pada apa sih yang dipersoalkan dan apakah dasar-dasar yang dipersoalkan," papar Hamdan Zoelva.
Menurut Hamdan Zoelva, nantinya semua keputusan MK akan tergantung pada apa yang dipersoalkan serta dalil apa untuk membuktikan adanya persoalan tersebut.
"Jadi sangat tergantung betul pada apa yang dipersoalkan dan dalil-dalilnya dan itu bisa dibuktikan, sesuai dengan standar tentu, pembuktian yang ada," ungkap dia.
Tak hanya itu, dalam pemaparannya, Hamdan Zoelva juga sebelumnya menyebutkan, bukti gugaran kubu Prabowo-Sandiaga bisa saja diterima oleh MK meski sebelumnya sempat ditolak oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Sebagaimana diketahui, sebelumnya MK sempat menolak bukti kubu 02 yang berupa hasil print out berita online terkait adanya kecurangan pemilu.
Atas kasus tersebut, Hamdan Zoelva mengatakan, bukti tersebut bisa saja diajukan kembali oleh MK.
"Sekali lagi sangat tergantung pada dalil yang diajukan di sana di Mahkamah Konstitusi," tegas Hamdan Zoelva.
"Apakah itu diajukan ke Bawaslu, tentu bisa saja diajukan lagi ke Mahkamah Konstitusi."
"Jadi hal yang terpenting adalah apa yang menjadi dasar permohonan dan dalil-dalil permohonan," sambungnya.
Hamdan Zoelva menambahkan, jika gugatan sudah diajukan ke MK, maka prosesnya bisa dilihat pada sidang terbuka.
"Kalau apa yang sudah diajukan di Bawaslu, akan diajukan lagi di Mahkamah Konstitusi itu hal yang mungkin saja," ungkap Hamdan Zoelva.
"Dan itu diajukan kembali ke MK saja biarkan saja nanti sidang itu terbuka, dan dinilai secara bersama-sama dan biar proses itu berjalan di sana," tandasnya.
Artikel ini telah tayang di Wartakotalive dengan judul Mahfud MD dan 2 Pakar Top Sebut Prabowo Punya Kesempatan Kalahkan Jokowi di Mahkamah Konstitusi