Penagihan Pinjaman Fintech Tak Manusiawi, Pengamat: Berbisnis Ada Etika

Sebab, jika peminjam bermasalah atau telat dalam membayar maka konsekuensinya kadang dipermalukan di media sosial.

Penulis: Maudy Asri Gita Utami | Editor: Nina Soraya
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID/ISTIMEWA
ilustrasi.NET 

TRIBUNPONTIANAK.CO.ID, PONTIANAK - Maraknya penyaluran pinjaman yang dilakukan fintech peer to peer lending yang semakin pesat, diprediksi mampu menyaingi pasar industri pembiayaan.

Melihat hal itu pengamat ekonomi dari Universitas Tanjungpura Muhammad Fahmi, menilai hal ini sebagai penunjang dari kemajuan zaman yang semakin laju dan berkembang.

Baca: Ketua Persambi Harap Sambo Terus Berkembang di Kalbar

Baca: Alvaro Morata Segera Jadi Milik Atletico Madrid, Sebagian Fans Justru Menolak

Melihat sisi positif, sebagai pelaku ekonomi, Fahmi mengatakan bahwa perkembangan Fintech bisa dikembangkan dengan dunia digital yang lebih modern untuk akses yang cepat, terjamin dan aman.

"Kehadiran Fintech ini baik, apalagi sekarang serba online dan tanpa ribet. Jadi semua orang berfikir untuk apa harus jauh-jauh datang ke lembaga keuangan, dimana akan menghabiskan biaya,waktu dan lain sebagainya. Dan tentu saja profil si nasabah langsung disetujui oleh lembaga keuangan tersebut," imbuh Fahmi.

Perkembangan ini dikarenakan dengan seiringnya kelemahan yang ada di lembaga peminjaman keuangan offline.

Kelemahan ini dibaca oleh pelaku lembaga Fintech, dimana lembaga offline tidak menggunakan teknologi dalam daya saingnya, dan cenderung syarat-syarat peminjaman menjadi begitu lama, kata Fahmi.

Fahmi juga mengatakan, dengan kemudahan yang diberikan Fintech tanpa adanya agunan juga lebih memudahkan masyarakat yang membutuhkan apalagi untuk kebutuhan bisnis nya.

Hanya terkadang, Fahmi melanjutkan, kelemahan dari dunia media sosial ataupun online, tetap harus menerapkan etika dalam berbisnis. Sebab, jika peminjam bermasalah atau telat dalam membayar maka konsekuensinya kadang dipermalukan di media sosial.

“Ini tidak etis bagi pelaku industri termasuk bisnis Fintech, dimana masih begitu banyak cara lain yang bisa diterapkan dalam menghadapi konsumen atau nasabah yang bermasalah tersebut,” ucapnya.

"Seperti ini, jika peminjam punya masalah dan hambatan, disebabkan kurang lancarnya usaha dan ketidakmampuan untuk membayar itukan masalah, kalau dipermalukan semua orang tau lihat dampak kedepannya, psikis dia dan nama dia pasti akan jelek sampai kapanpun kan, itulah yang sebenarnya yang perlu diperhatikan," ujar Fahmi.

Dia mencontohkan dahulu ada BI Checking atau Sistem Informasi Debitur (SID), hanya sudah berganti nama menjadi Sistem Layanan Informasi Keuangan atau SLIK yang sekarang dikelola oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

SLIK memperluas cakupan iDeb(informasi debitur ) yaitu melingkupi lembaga keuangan bank dan lembaga pembiayaan (finance) dan juga ke lembaga keuangan non-bank yang mempunyai akses data debitur dan kewajiban melaporkan data debitur ke Sistem Informasi Debitur (SID).

SLIK ini lanjutnya agar nasabah lebih mudah dalam proses pengajuan pinjaman. Selain itu, SLIK juga diharapkan mampu meminimalisir angkat kredit bermasalah.

“Nah, harusnya fintech nanti juga seperti ini. Nasabah atau konsumennya yang bermasalah jadi bisa diketahui dan tidak dapat peminjaman lagi,” jelasnya.

Fahmi menambahkan untuk bisnis Fintech peer to peer landing yang makin mengurita ini, maka perbankan bisa melirik hal tersebut. Perbankan bisa mengandeng fintech untuk dimodali.

Halaman
12
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved