Tetes Air Mata Iringi Keluarnya Telur Penyu di Paloh
Penyu ini kan sensitif terhadap cahaya, jangan sampai disinari dari depan bisa kena matanya, bisa membuat mata penyu rentan rusak
Penulis: Destriadi Yunas Jumasani | Editor: Jamadin
Laporan Wartawan Tribun Pontianak, Destriadi Yunas Jumasani
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID, PONTIANAK - Berjarak sekitar 350 Kilometer (Km) dari Ibu Kota Provinsi Kalimantan Barat, sebanyak tujuh jurnalis
memenuhi undangan WWF Kalbar melalui AJI Pontianak untuk mengikuti kegiatan Festival Pesisir Paloh yang berlangsung dari
tanggal 5 hingga 11 November 2017 di Desa Temajuk, Kecamatan Paloh, Kabupaten Sambas.
Tribun Pontianak bersama enam jurnalis lainnya bergegas sejak pukul 7.00 WIB pada Minggu (11/5) dari Kota Pontianak menggunakan sebuah
minibus sewaan. Waktu keberangkatan sengaja dipilih pagi agar rombongan dapat tiba lebih awal supaya tidak ketinggalan kapal
penyeberangan.
Setelah menempuh perjalanan yang memakan waktu setengah hari, kami langsung dibawa menuju lokasi Camp WWF yang terletak di wilayah Pantai
Sungai Belacan, Desa Sebubus, Paloh, Sambas. Lokasi camp ini sendiri awalnya merupakan camp yang dimanfaatkan untuk illegal
logging.
(Baca: Belum dapat Dukungan Partai, Karolin: Saya Masih PDI Perjuangan )
Di lokasi camp yang terasa asri dipenuhi pepohonan khas pesisir pantai khususnya pohon cemara laut yang tumbuh subur di sepanjang pantai
Paloh, kami disambut tiga petugas yang berjaga di camp berupa rumah pondok kayu. Di camp ini kami disambut Hermanto (43) yang biasa disapa
Pak Tam, Junaidi (38), dan Andi Priansyah (34) yang merupakan petugas Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) Kambau Borneo.
Pokmaswas Kambau Borneo bekerja sama dengan WWF-Indonesia Program Kalbar dan didukung penuh oleh Balai Pengelolaan Sumber Daya
Pesisir dan Laut (BPSPL) Pontianak Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut, Kementerian Kelautan dan Perikanan, dalam menjaga
kelestarian lokasi peneluran penyu di wilayah Paloh khususnya Sungai Belacan.
(Baca: Bikin Merinding! Pria Ini Bunuh Pacar Kemudian Makan Otak dan Minum Darahnya )
Ritual bagi penyu untuk mengeluarkan telur-telurnya dapat terjadi di sepanjang garis pantai Tanjung Belimbing hingga Tanjung Datuk dengan
bentang panjang garis pantai sejauh 63 Km. Sedangkan untuk garis pantai peneluran penyu yang dijaga oleh Kambau Borneo-WWF terbentang
sepanjang 19,3 Km dari Pantai Sungai Ubah hingga Sungai Mutusan.
Sinar lembut bulan purnama pun menyambut kami tiba di Pantai Sungai Belacan yang saat itu sekitar pukul 20.00. Cahaya penerangan hanya
seadanya sekitar enam buah lampu dengan watt rendah yang bersinar dari dalam camp. “Penyu Sensitif Cahaya,” itulah tulisan pertama saat kami
memasuki lokasi camp.
“Penyu memang tidak bisa mendengar, tapi penyu sangat sensitif cahaya, sehingga perlu mengurangi cahaya di lokasi camp, kalau tidak nanti
penyu tidak mau naik untuk bertelur karena ada cahaya lampu,” ujar Andi Fachrizal, jurnalis yang fokus dibidang lingkungan hidup saat
mendampingi kami.
(Baca: Tiga Rumah di Bukit Batu Singkawang Hangus Terbakar )
Kedatangan kami ke Camp WWF ini seperti disertai keberuntungan, karena tidak sampai satu jam kami berada di camp sudah ada penyu yang naik
untuk bertelur. “Ada penyu yang naik di sektor lima,” ujar Pak Tam yang saat kami tiba langsung berpatroli untuk memantau titik penyu bertelur.
Sektor merupakan istilah yang dipakai oleh petugas untuk menandai satu titik dengan titik satunya yang berjarak 500 meter, sehingga penyu
yang saat itu sedang bertelur ada di sektor lima yang berjarak 2,5 Km dari Camp WWF.
Kendaraan untuk menuju lokasi peneluran yang menyusuri garis pantai hanya berupa tiga sepeda motor bebek, sehingga kami yang saat itu
bersama empat orang siswa SMP yang dibawa Albertus Tjiu Manajer Program Kalimantan Barat WWF-Indonesia harus bergantian untuk diangkut
menggunakan motor.