Pengakuan Santri Dimas Kanjeng, Uang Mahar Tidak Seheboh yang Diberitakan Media

Namun ia tidak menampik jika ada mahar sukarela yang menjadi wajib bagi para santri. Namun jumlahnya tidak sebesar diungkap di media selama ini.

Penulis: Dhita Mutiasari | Editor: Arief
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID/DHITA MUTIASARI
Satu di antara santri padepokan Dimas Kanjeng Taat Pribadi asal Mempawah, Asni Jaiz. 

TRIBUNPONTIANAK.CO.ID, MEMPAWAH - Asni Jaiz (54) merupakan santri Dimas Kanjeng Taat Pribadi yang juga ketua RT di Jalan Seliung, Kelurahan Sungai Pinyuh, Kecamatan Sungai Pinyuh, Kabupaten Mempawah.

Menurut dia, apa yang diberitakan media tentang ajaran Dimas Kanjeng menyimpang sudah berlebihan.

Terlebih kaitan mahar yang memang ditetapkan kepada para pengikutnya (santri) untuk sebagai pancingan untuk digandakan secara gaib.

"Selama bagus, tidak ada modal atau apa-apa, hanya ada sekadarnya, wajar. Itu wajar, kalau kita mau jadi dewan saja kita punya mahar, tapi tidak seheboh besar seperti cerita di media itu," jelasnya kepada wartawan, Minggu (2/10/2016).

Namun ia tidak menampik jika ada mahar sukarela yang menjadi wajib bagi para santri. Namun jumlahnya tidak sebesar diungkap di media selama ini.

"Tapi kalau berita itu biasalah, apalagi yang ditangkap ini pemimpin. Kalau mahar Rp 25 ribu, 50 ribu dan 100 itu secara sukarela masing-masing, biasalah," ceritanya.

Ia mengatakan, santri padepokan Dimas Kanjeng mencapai 23 ribuan dari seluruh Indonesia. Namun tidak semuanya bisa berkumpul setiap waktu melainkan hanya ketika ada kegiatan keagamaan saja.

Lantas hanya modal saja untuk pulang pergi ke padepokan saja yang dikatakannya besar bahkan hingga mencapai Rp 2-3 juta sekali pergi.

"Kalau modal sekali berangkat Rp 2-3jutaan. Itupun paling-paling sebulan sekali, itu pun tidak tetap pas ada kegiatan-kegiatan seperti zikir bersama dan keagamaan lainnya," jelas Asni.

BACA JUGA: Begini Cara Dimas Kanjeng Membagi-bagikan Uang kepada Ribuan Santrinya

Dalam 3 tahun ini, ia mengakui sudah 3 kali pulang pergi ke padepokan ketika bertepatan ada acara keagamaan di padepokan.

"Yang penting kita mau pergi, ongkosnya ada juga. Kalau secara pribadi saya ke sana dalam 3 kali habis 10 jutaan, tetapi saya ikhlas," tuturnya.

Untuk biaya makan minum di padepokan diakuinya memang ditanggung, namun dengan makan seadanya. Mereka kerap mengeluarkan biaya sendiri untuk sekadar makan di luar.

"Itu ongkos pribadi, biaya makan semua. Walapun makan hari-hari disana makan hari-hari lauknya tempe, tahu dan telur, karena dapur umum itu ada," jelasnya.

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved