Revitalisasi Wawasan Kebangsaan

Permusuhan yang panjang hanya akan menimbulkan kerugian besar bagi kedua belah pihak. Menang jadi arang, kalah jadi abu

Penulis: Ahmad Suroso |
zoom-inlihat foto Revitalisasi  Wawasan Kebangsaan
kepakgaruda.wordpress.com
Indonesia harus bangkit

Di sisi lain, rasa sakit hati dan dendam juga tidak mudah untuk menghentikannya. Apalagi, upaya damai ini harus dilakukan oleh semua pihak dan lapisan hingga ke tingkat akar rumput. Tentu saja hal ini butuh proses yang tidak mudah.

Berbagai upaya agar masyarakat Lampung dan pendatang dari Bali bisa hidup damai lagi, terus dilakukan. Para tokoh adat Bali, sudah menyatakan permintaan maaf secara terbuka atas peristiwa yang membuat Lampung mencekam itu.

Sejatinya, hal itu bisa dilihat sebagai tanda putih hati agar warga yang bertikai kembali menjalani aktivitas seperti biasa. Memang, konflik horizontal dan kultural, selalu meninggalkan luka yang lama sembuhnya.

Tetapi, demi masa depan anak-anak wanita yang paling menderita atas kejadian ini. Anak-anak sudah sepekan tidak sekolah. Tempat tinggal mereka porak-poranda. Ternak, sawah dan tanaman yang ditinggalkan terbengkalai.

Tentunya semua pihak bisa merenungkan kembali bahwa perseteruan ini bukan soal menang atau kalah. Permusuhan yang panjang hanya akan menimbulkan kerugian besar bagi kedua belah pihak. Menang jadi arang, kalah jadi abu.

Berbagai itikad baik dan rasa saling menghormati, tentunya akan menjadi langkah awal untuk memperbaiki semuanya. Kita harus membangun kembali Lampung Selatan dengan lebih baik dan saling menjaga.

Apalagi, masyarakat pendatang dari Bali, sebenarnya bukan pendatang lagi karena mereka sudah tinggal 60 tahun di sana. Mereka termasuk perintis yang membangun daerah itu hingga menjadi ramai seperti sekarang ini.

Tentu kita tidak menginginkan munculnya sikap antipati hingga pengusiran warga pendatang dari daerah itu, karena tidak dibenarkan dalam konstitusi dan prinsip dasar pendirian republik.

Kasus ini juga menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah untuk lebih memperhatikan masalah kebangsaan yang mulai ditinggalkan.

Terlepas dari kelemahan pemerintahan Orde Baru, sikap toleransi sosial dan budaya di masa pemerintahan Soeharto menjadi perhatian serius sehingga konflik horizontal sangat jarang terjadi.

Wawasan kebangsaan inilah yang kemudian dilupakan. Kita sudah lupa dengan Bhineka Tunggal Ika dan bahkan kita juga lupa dengan kedalaman makna Sumpah Pemuda 28 Oktober yang beriringan waktunya dengan konflik yang terjadi di Lampung.

Pemerintah bisa mendinginkan sikap-sikap emosional yang sempit seperti itu. Sebab, pemicu masalah dalam bentrok pekan lalu bukanlah soal fanatisme kesukuan, melainkan karena masalah remaja.

Revitalisasi wawasan kebangsaan harus menjadi perhatian serius negara ini ke depannya. Sebab, gejala-gejala terjadinya konflik horizontal tanpa alasan yang masuk akal, terus terjadi. Tawuran pelajar hingga mahasiswa hingga berbagai masalah sosial dan budaya yang kurang mendapat perhatian.

Kita harus kembali menyadarkan bangsa ini bahwa negara didirikan oleh seluruh elemen bangsa dari Sabang hingga Merauke. Bahwa dalam sebuah masyarakat majemuk seperti Indonesia, mozaik keberagaman merupakan realitas.

Seluruh bangunan kebangsaan dan kehidupan masyarakat dibangun di atas landasan adanya perbedaan antarkelompok masyarakat.

Tugas kita bersama dan lebih-lebih pemerintah adalah bagaimana mengelola perbedaan itu menjadi sebuah kekuatan bagi terbentuknya multikulturalisme. (*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved